Paradoks Hari Valentine
Pengaruh Valentine pada Generasi Muslim |
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Diklaim
sebagai hari kasih sayang, Valentine justru menyimpan segudang kebencian.
Inilah paradoks Valentine.
Dari
segi agama, fatwa MUI tentang keharaman Valentine No. 04/FTW-MUI/KTMLG/II/2016
tidak menghalangi perayaan Valentine di Indonesia. Memang manusia diberi fitrah
cinta terhadap lawan jenis (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 14),
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 14).
namun
cinta tersebut tidak boleh melanggar hukum agama, seperti yang dilakukan oleh
Zalikha yang diliputi cinta meluap-luap (syaghafaha hubba) kepada Nabi
Yusuf AS, sehingga menyekapnya dalam kamar untuk diajak berbuat asusila (Q.S.
Yusuf [12]: 30)
وَقَالَ
نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ
قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (30)
Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri pejabat itu menggoda
bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada
bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam
kesesatan yang nyata.” (Q.S. Yusuf [12]: 30).
Dalam al-Qur’an, orang yang melanggar hukum
agama, sebagai bentuk ekspresi kebencian terhadap hukum tersebut tersebut,
dilabeli sebagai al-mu’tadin (melampaui batas) yang tidak disukai Allah
SWT (Q.S. al-Ma’idah [5]: 87).
وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ (87)
Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 87).
Dari
segi sejarah, ekspresi kebencian dapat ditelusuri pada asal-usul hari
Valentine. Valentine mengacu pada tiga nama santo (orang suci) masa 200-an
Masehi yang tewas secara mengenaskan. Salah satunya, Uskup Valentine yang
dieksekusi mati oleh Kaisar Romawi Claudius II karena telah menikahkan salah
satu tentara muda, padahal sang kaisar sudah mengeluarkan larangan menikah bagi
para tentara muda, agar tidak “melempem” di medan tempur. Apa yang dilakukan
Uskup Valentine mengekspresikan kebencian terhadap larangan sang kaisar,
sebagaimana hukuman mati merupakan ekspresi kebencian Claudius II terhadap
Uskup Valentine yang melanggar larangannya.
Dari
segi yuridis, mayoritas pasangan yang merayakan Valentine berstatus belum
menikah. Lalu Valentine dijadikan “momen agung” bagi mereka untuk melakukan
hubungan seksual (perzinahan). Indikatornya, Wali Kota Samarinda, Meiliana,
pernah merasa geram dengan fakta begitu tingginya pembelian kondom jelang
Valentine 2016, sampai-sampai stok di pasaran kosong. Padahal 85% penduduk
Kalimantan Timur beragama Islam. Perzinahan merupakan ekspresi kebencian
pasangan yang belum menikah, terhadap institusi pernikahan yang melarang
hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Sebagaimana pernikahan merupakan
ekspresi kebencian terhadap segala bentuk perzinahan, baik bagi mereka yang
sudah menikah (Pasal 284 Ayat (1) KUHP) maupun masih lajang (Pasal 488 KUHP).
Dari segi
budaya, Valentine adalah budaya Barat yang mengedepankan nilai kebebasan (value
free), bertentangan dengan budaya Timur yang mengedepankan batasan nilai (value
bond). Misalnya, dalam budaya Barat, hubungan seksual di luar nikah yang
dilandasi suka sama suka adalah Hak Asasi Manusia. Namun dalam budaya Timur,
khususnya Indonesia, hubungan seksual hanya sah dalam ikatan pernikahan. Jadi,
terjadi aksi saling benci antara budaya Barat dan Timur terkait hubungan
seksual di luar pernikahan yang sering terjadi saat Valentine.
Dari segi
sosiologi, Valentine kerap memperkeruh relasi antar anggota keluarga dan
masyarakat. Misalnya, tidak jarang ekspresi kebencian ditampilkan anak yang
dilarang orangtua memperingati Valentine, namun bersikukuh
memperingatinya; sebagaimana orangtua
membenci sikap anak yang tidak mengindahkan larangannya.
Dari segi
ekonomi, Valentine membuka peluang bisnis yang luar biasa besar. Besaran laba
yang berkali-lipat menarik perhatian pengusaha untuk menjadikan Valentine
sebagai “musim panen” dengan menjual pernak-pernik khas Valentine, seperti
cokelat, bunga, boneka dan kaos couple. Tentu pengusaha tersebut membenci
siapapun yang melarang Valentine, sebagaimana masyarakat membenci pengusaha
yang memanfaatkan Valentine untuk mengeruk keuntungan ekonomi semata, tanpa
memedulikan risiko kerusakan moral anak bangsa.
Dari
segi pendidikan, sikap bijak terkait Valentine adalah menerapkan tiga model
pendidikan.
Pertama, pengenalan (i’tiraf). Perlu ada sosialisasi
yang objektif tentang seluk-beluk hari Valentine, sehingga masyarakat dapat
menentukan sikap secara mandiri berdasarkan segi positif dan negatifnya.
Kedua, keteladanan (imtitsal). Perlu ada kejelasan
sikap terkait Valentine yang dapat diteladani masyarakat. Misalnya sikap
pemerintah Kota Bandung, Makassar, Banjarmasin, Malang, Padang, Surabaya, dan
Aceh yang mengeluarkan edaran resmi melarang peringatan Valentine (2016).
Ketiga, kepatuhan (ittiba’). Segenap elemen
masyarakat mematuhi sikap resmi pemerintah maupun tokoh masyarakat terkait
Valentine dengan penuh kesadaran. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Gunung
Rejo, 14 Februari 2018
Posting Komentar untuk "Paradoks Hari Valentine"