Pendidikan Inklusi (Tafsir Tarbawi Surat 'Abasa)
Surat 'Abasa sebagai Landasan Pendidikan Inklusi |
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
عَبَسَ
وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
(3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4)
Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang
seorang tuna netra kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan
dirinya (dari dosa). Atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran
itu memberi manfaat kepadanya? (Q.S. ‘Abasa
[80]: 1-4)
Asbabun
Nuzul ayat ini adalah ada seorang shahabat yang tuna netra, bernama Abdullah Ibnu
Ummi Maktum, mendatangi Rasulullah SAW. Ketika itu beliau sedang mengadakan
pertemuan penting untuk berdakwah kepada para pembesar Quraisy yang diharapkan
masuk Islam, antara lain al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib, Abu Jahal, Ubay ibn
Khalaf, Syaibah ibn Rabi’ah dan al-Walid ibn al-Mughirah. Secara logis, jika para
pembesar Quraisy masuk Islam, maka para pengikutnya pun akan ikut masuk Islam.
Sebagai
seorang tuna netra, tentu Ibnu Ummi Maktum tidak mengetahui keadaan tersebut, sehingga
dia menyela pembicaraan: “Wahai Rasulullah, mohon engkau ajari aku, dari apa
yang telah diajarkan oleh Allah kepada engkau”. Rasulullah SAW yang sedang
fokus berbicara dengan para pembesar Quraisy tersebut, tidak
ingin memutus pembicaraan,
sehingga tampak raut muka kurang
berkenan. Beliau pun berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan tetap menghadap para
pembesar Quraisy. Lalu turunlah ayat ini sebagai “teguran” kepada Rasulullah
SAW.
Sejak peristiwa itu, setiap kali bertemu IbnuUmmi Maktum, Rasulullah SAW memanggilnya dengan sebutan istimewa, “Selamat
datang, wahai orang yang membuatku ditegur Tuhanku” (مَرْحَباً بِمَنْ عَاتَبَنِيْ فِيْهِ رَبِّيْ).
عَبَسَ
وَتَوَلَّى
Dia bermuka masam dan
berpaling.
‘Abasa berasal dari kata ‘ubus yang bermakna “mengerutkan
dahi dan menampakkan rasa marah”. Dari sini muncul penerjemahan, “muka masam”.
Meskipun
ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW; namun Allah SWT menghormati beliau,
sehingga tidak menyebutkan nama dengan gamblang. Jika Allah SWT saja
menghormati Rasulullah SAW, maka jauh lebih wajar jika kita menghormati beliau.
Jadi, tidak pantas menjadikan ayat ini sebagai argumentasi kekurangan
Rasulullah SAW.
Apalagi
sikap bermuka masam dan berpaling tersebut hanya sekali dilakukan oleh
Rasulullah SAW, karena karakter dasar beliau adalah penuh kasih sayang dan
cinta kasih kepada kaum fakir miskin, senang mendekat dan bersahabat dengan
mereka. Hal ini diperkuat juga oleh penggunaan kata tawalla yang arti
aslinya “memaksakan diri untuk berpaling”. Artinya, secara normal beliau tidak
akan berpaling kepada kaum lemah; namun karena saat itu dalam situasi tidak
normal, beliau memaksakan diri untuk berpaling.
Memang
benar, perbuatan biasa, jika dilakukan orang luar biasa, akan dipandang suatu
kekurangan. Ibaratnya, bagi pelajar yang rutin mendapatkan nilai 10, nilai 8
dianggap suatu kekurangan. Demikian halnya, seorang trilyuner yang menyumbang
satu milyar, bisa jadi masih memicu komentar negatif dari masyarakat, karena
dinilai masih kurang. Artinya, apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah biasa
menurut ukuran masyarakat umum. Bukankah banyak orang yang tidak mau diganggu
siapapun ketika sedang rapat penting? Akan tetapi, karena Rasulullah SAW adalah
figur luar biasa, maka tindakan biasa dinilai sebagai suatu kekurangan.
Dari
perspektif pendidikan, ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam memperhatikan
pendidikan inklusi bagi orang berkebutuhan khusus. Baik serba kurang, seperti
tuna netra; maupun serba lebih, seperti anak genius. Bagaimana tidak? Bukankah Allah
SWT telah berikrar memuliakan seluruh umat manusia tanpa terkecuali (Q.S.
al-Isra’ [17]: 70)
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ
مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
(Q.S. al-Isra’ [17]: 70).
Bahkan
Allah SWT pun menciptakan seluruh manusia dalam komposisi terbaik (Q.S. al-Tin
[95]: 4)
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. al-Tin [95]: 4).
أَنْ
جَاءَهُ الْأَعْمَى
Ketika datang seorang
tuna netra kepadanya.
Kata
ja’a (datang) mengisyaratkan usaha yang tergolong berat. Misalnya,
pertolongan Allah SWT baru datang jika sudah ada usaha sungguh-sungguh (Q.S.
al-Nashr [110]: 1)
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ
وَالْفَتْحُ (1)
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (Q.S. al-Nashr [110]:
1)
Kedatangan
tersebut semakin berat, jika melihat Ibnu Ummi Maktum yang mengalami tuna
netra. Ringkasnya, ayat ini mengisyaratkan usaha dobel yang dilakukan Ibnu Ummi
Maktum dalam rangka menuntut ilmu.
Jika
usaha tergolong ringan, al-Qur’an memakai istilah ata (datang).
Misalnya, zakat itu tergolong ringan (1/40 atau 2,5%), sehingga al-Qur’an
menggunakan istilah atu al-zakah (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ (43)
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (Q.S. al-Baqarah [2]: 43).
Ayat
ini juga mengisyaratkan bahwa kebaikan seseorang tidak diukur dari tampilan
fisik. Meskipun para pembesar Quraisy tampak serba wah secara fisik, namun mereka
hina dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya, meskipun Ibnu Ummi Maktum tampak
serba kurang secara fisik, namun mulia dalam pandangan Allah SWT. Hal ini
selaras dengan sebuah Hadis:
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلا إِلَى أَحْسَابِكُمْ
وَلا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ (رواه الطبراني)
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak melihat pada
fisik, nasab dan harta kalian, melainkan melihat pada hati kalian (H.R. al-Thabarani).
وَمَا
يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
Tahukah kamu barangkali dia
ingin membersihkan diri.
Tugas
pendidik adalah mendidik, bukan memastikan hasil pendidikan. Bisa jadi, pelajar
yang terlihat serba lemah dan tidak berpotensi, justru menjadi tokoh penting di
masa depan, seperti Ibnu Ummi Maktum menjadi muadzin Rasulullah SAW di samping
Bilal ibn Rabah. Ibnu Ummi Maktum juga pernah ditunjuk sebagai “pimpinan” pengganti
Rasulullah SAW di Madinah sebanyak tiga belas kali, ketika Rasulullah SAW sedang
memimpin perang. Keistimewaan Ibnu Ummi Maktum terlihat ketika menjadi salah
satu “sebab” turunnya tambahan kata “selain yang memiliki uzur atau berhalangan”
dalam Surat al-Nisa’ [4]: 95
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي
الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak
ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di
jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat,
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala
yang besar (Q.S. al-Nisa’ [4]: 95).
Realita
banyak menghadirkan bukti bahwa figur-figur hebat, berangkat dari profil
anak-anak yang dulu dipandang serba lemah dan tidak berpotensi. Oleh sebab itu,
tidak wajar seorang pendidik menilai sukses-gagalnya peserta didik hanya pada
saat proses pembelajaran di jenjang pendidikan tertentu, karena bisa jadi di
masa depan, peserta didik yang gagal pada jenjang pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, justru menjadi figur yang luar biasa ketika sudah terjun di
masyarakat.
Menurut
Imam al-Mawardi, “membersihkan diri” (yazzakka) dalam ayat ini mencakup
empat makna: a) beriman (daya kalbu); b) beramal shalih (daya fisik); c)
menghafal al-Qur’an (daya pikir); d) memahami agama (daya pikir). Hal ini
mengisyaratkan bahwa sasaran pendidikan adalah kalbu (afektif), fisik
(psikomotorik) dan akal (kognitif).
أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى
Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?.
Pengajaran
itu adakalanya bermanfaat secara langsung atau tidak langsung. Itulah kiranya,
mengapa ayat ini memakai fi’il mudhari’ (فَتَنْفَعَهُ) yang mengacu konteks masa kini (hal)
dan masa depan (istiqbal). Artinya, ada pelajar yang langsung paham
seusai pembelajaran. Namun, ada juga pelajar yang baru paham selang beberapa waktu
seusai pembelajaran tersebut. Lagi-lagi pendidik diminta tidak tergesa-gesa
dalam memutuskan sukses-gagalnya peserta didik.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Gunung
Rejo, 3 Februari 2018
1 komentar untuk "Pendidikan Inklusi (Tafsir Tarbawi Surat 'Abasa)"