Tafsir Tarbawi Tujuan Pendidikan Islam
Ingin Bahagia Tapi Tidak Ibadah, Situ Sehat? |
Tujuan Pendidikan: Tafsir Tarbawi Surat al-Dzariyat
[51]: 56
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia, kecuali agar beribadah kepada-Ku” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56).
وَمَا خَلَقْتُ
“Dan Aku
tidak menciptakan”.
Arti khalaqa adalah menciptakan sesuatu tanpa
asal (dari tiada menjadi ada) dan contoh (peniruan; modifikasi). Kata “Aku”
mengisyaratkan bahwa hanya Allah SWT yang mampu menciptakan bangsa jin dan
manusia. Jika al-Qur’an memakai kata “Kami”, berarti ada unsur lain yang
terlibat di dalamnya. Misalnya, ayah-ibu terlibat dalam proses penciptaan
manusia yang digambarkan dalam ayat:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13)
“Kami
menciptakan manusia dari saripati tanah; lalu Kami menjadikannya air mani (yang
disimpan) di tempat yang kokoh (rahim) (Q.S. al-Mu’minun [23]: 12-13).
الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ
“Jin dan manusia”.
Jin merepresentasikan makhluk tak kasatmata (abstrak),
sedangkan manusia merepresentasikan makhluk kasatmata (konkret). Keduanya
memiliki potensi identik dalam konteks spiritualitas. Misalnya, jin itu ada
yang beriman dan kafir (Q.S. al-Jin [72]: 14).
وَأَنَّا
مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ
تَحَرَّوْا رَشَدًا (14)
Dan sesungguhnya di antara kami
ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran. Barangsiapa yang yang taat, maka mereka itu benar-benar telah
memilih jalan yang lurus (Q.S. al-Jin [72]: 14).
Manusia juga demikian (Q.S. Hud [11]: 17).
أَفَمَنْ
كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ وَمِنْ قَبْلِهِ
كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ
إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ (17)
Apakah (orang-orang kafir itu
sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur’an) dari
Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum
al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu
beriman kepada al-Quran. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy)
dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang
diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu.
Sesungguhnya (al-Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia
tidak beriman (Q.S. Hud [11]: 17).
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali agar beribadah kepada-Ku”.
Kombinasi kata “tidak” dan “kecuali” mengisyaratkan
bahwa apa yang dinyatakan setelah kata “kecuali” (illa) merupakan
sesuatu yang rumit, pelik dan sulit terealisasi.
Misalnya, “Tiada tuhan selain Allah (La Ilaha illa
Allah)” mengisyaratkan tidak semua manusia begitu saja beriman kepada Allah
SWT, sebagian masih mempertuhan selain-Nya. “Tiada daya dan upaya, kecuali
dengan (izin) Allah” (La Haula wa La Quwwata illa Billahi)
mengisyaratkan bahwa banyak manusia yang mengandalkan kemampuan diri sendiri,
dan merasa tidak butuh pertolongan Allah SWT.
Jadi, redaksi “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali agar beribadah kepada-Ku” mengisyaratkan bahwa manusia
sulit untuk beribadah kepada Allah SWT, justru lebih mudah bermaksiat atau
durhaka kepada-Nya. Hal ini juga diisyaratkan Surat al-Syams [91]: 8 yang
mendahulukan kata “fujur” (durhaka), dibandingkan “taqwa” (taat).
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8)
Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (Q.S. al-Syams [91]: 8)
Pemakaian kata al-ins dalam Surat al-Dzariyat
[51]: 56 untuk menunjuk manusia dalam konteks ibadah, mengisyaratkan beberapa
poin.
Pertama, al-ins mengacu pada
manusia sebagai pribadi; berbeda dengan kata al-nas yang mengacu pada
manusia sebagai komunitas. Jadi, ibadah merupakan tanggung-jawab pribadi.
Misalnya, kewajiban agama mayoritas bersifat fardhu ‘ain (kewajiban
pribadi) dan setiap manusia bertanggung-jawab atas nasibnya sendiri (Q.S.
al-Isra’ [17]: 13).
وَكُلَّ
إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا (13)
Dan tiap-tiap manusia itu telah
Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya
terbuka. (Q.S.
al-Isra’ [17]: 13).
Kedua, al-ins mengacu pada
aspek ruhaniah manusia; berbeda dengan kata basyar yang mengacu pada
aspek jasmaniah manusia. Jadi, ibadah manusia ditentukan oleh kualitas ruhani,
bukan jasmani. Misalnya, ada orang sehat bugar, justru tidak mau shalat;
sedangkan orang yang sakit keras, masih bersikukuh mendirikan shalat.
Ketiga, aspek ruhaniah manusia yang
berpengaruh terhadap ibadah adalah akal, hati dan nafsu. Hati cenderung pada
kebaikan, sedangkan nafsu cenderung pada keburukan. Akal adalah penentunya.
Jika akal berpihak pada hati, maka manusia akan taat beribadah (Q.S.
al-Syu’ara’ [26]: 28).
قَالَ
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28)
Musa berkata: “Tuhan yang
menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu)
jika kamu mempergunakan akal” (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 28).
Jika akal berpihak pada nafsu, maka manusia akan
durhaka dan tidak mau beribadah (Q.S. al-Furqan [25]: 43).
أَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (43)
Terangkanlah kepadaku tentang
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya? (Q.S. al-Furqan [25]: 43).
لِيَعْبُدُونِ
“Agar mereka
beribadah kepada-Ku”.
Pemakaian kata “liya’buduni” mengisyaratkan
sejumlah poin.
Pertama, huruf li (agar)
mengisyaratkan bahwa tujuan asasi penciptaan manusia adalah beribadah kepada
Allah SWT. Namun, tujuan ini tidak dipaksakan oleh Allah SWT, karena manusia
diberi pilihan (ikhtiar) untuk memilih antara iman atau kafir (Q.S.
al-Kahfi [18]: 29).
وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Dan katakanlah: “Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Q.S. al-Kahfi [18]: 29)
Dus, jika ada manusia yang tidak mau beribadah kepada
Allah SWT, berarti dia bagaikan “produk gagal”. Memang, tujuan tidak harus
selalu terlaksana. Misalnya, tujuan buku adalah alat tulis. Namun, terkadang
justru dipakai sebagai kipas.
Kedua, redaksi “mereka beribadah”
mengisyaratkan bahwa ibadah seharusnya dilakukan secara kolektif (berjamaah). Misalnya,
shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian, dengan selisih 25
atau 27 derajat.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 5 Februari 2018
Posting Komentar untuk "Tafsir Tarbawi Tujuan Pendidikan Islam"