Tips Sukses Hidup versi KH. Hasyim Muzadi
Kunci Sukses: Kombinasi Doa dan Ikhtiar Bermutu |
TIPS SUKSES MENGHADAPI TANTANGAN HIDUP
Almaghfurlah KH. Ahmad Hasyim Muzadi
Dalam al-Qur’an disebutkan,
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam (keadaan)
susah-payah (Q.S. al-Balad [90]: 4)
Maksudnya,
Allah
SWT memasukkan
dalam kehidupan yang sulit,
penuh tantangan, tapi juga penuh
harapan. Sebagai contoh keadilan
Allah SWT, Allah SWT memberi ajaran melalui Nabi Muhammad SAW, tentang bagaimana cara menghadapi
kesulitan itu. Jadi, kita diberi kesulitan, lalu kita dibekali ajaran untuk
menghadapi kesulitan tersebut.
Selain
itu, kita
juga diberi peralatan yang cukup untuk menghadapi kesulitan. Kita diberi otak
yang bisa dipakai berpikir untuk mengatasi masalah. Kita diberi nafsu atau
kehendak, untuk membuat karsa atau kreasi. Kita diberi hati yang dapat menimbang, mana
yang pantas dan mana yang tidak pantas. Dalam hati, ada nurani yang tidak bisa
dibohongi oleh nafsu. Berbeda
dengan
otak yang masih
sering dibohongi oleh nafsu. Buktinya, banyak orang pinter tapi keblinger. Kalau nurani, itu steril (jernih), sehingga Rasulullah SAW
bersabda:
اسْتَفْتِ
قَلْبَكَ
Mintalah fatwa pada
hatimu (H.R. Ahmad).
Kalau kita merenung, lalu bingung, maka mintalah fatwa kepada hati nurani, karena
hati nurani steril dari nasfu.
Coba tanya hati nurani, baik atau tidak baik; pantas atau tidak pantas. Jika
diibaratkan dengan pesawat, nurani itu sebagai black box (kotak hitam)
yang tetap utuh, sekalipun badan pesawat terbakar; dan kotak tersebut merekam
apa yang terjadi, tanpa bisa dibohongi.
Kita juga diberi alat-alat ikhtiar lain, seperti panca
indera, badan, tangan, kaki, dan kesehatan. Semua disiapkan untuk menghadapi kesulitan hidup.
Kalau semua pemberian Allah SWT itu diringkas, maka menjadi dua hal yang
penting. Pertama, ikhtiar.
Kedua, doa. Ikhtiar adalah usaha lahiriah. Doa
adalah usaha batiniah atau
permohonan melalui hati. Sehingga sebenarnya, usaha dan doa itu satu hal, dua sisi. Istilahnya, two side of one
coin, dua sisi dari satu mata uang. Ikhtiar tidak akan lengkap tanpa doa;
dan doa tidak bisa jalan tanpa ikhtiar.
Oleh
sebab itu, cara menghadapi masalah yang sedang dihadapai sekarang adalah
bagaimana meningkatkan kualitas ikhtiar dan
kualitas doa. Di sinilah kunci sukses itu.
Kualitas ikhtiar kita, tentu
dimulai dari ilmu pengetahuan. Orang
yang berilmu akan melakukan ikhtiar lebih baik. Lalu ilmu itu harus dipraktikkan terus-menerus dalam mengatasi kesulitan, sehingga
menjadi kaya pengalaman (experience). Pengalaman di sini bukan hanya pengalaman mengatasi
kesulitan, melainkan juga pengalaman pergaulan.
Bagi
orang yang masih muda, belum
mengalami hidup yang sesungguhnya, baru mengalami muqaddimah (pendahuluan) hidup. Hidup yang sesungguhnya itu kalau sudah berkeluarga, kita akan merasakan betapa sulitnya mengarungi
hidup. Ketika pacaran, masih bisa bersenang-senang, namun kalau
sudah menikah,
senangnya paling lama enam bulan.
Setelah itu, akan merasakan tanggung jawab sebagai suami yang
sesungguhnya. Pada saat itulah akan terasa bagaimana menghadapi kehidupan yang
sesungguhnya.
Jika
masih
muda, jangan takut kesulitan, tetapi lakukanlah latihan menghadapi kesulitan
dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar. Anak-anak muda yang dalam
kehidupannya penuh tantangan, kemudian dia berupaya menanggulanginya, insya
allah, dia akan sukses dalam kehidupan yang sesungguhnya. Kalau masih muda,
maunya enak saja, mau instan, dia akan kaget ketika hidup yang sesungguhnya;
karena hidup yang sesungguhnya tidak ada yang instan atau glamor. Bintang film itu terlihat glamor kalau di sinetron; namun kalau dalam hidup
yang sesungguhnya, tidak seglamor sinetronnya.
Setelah
membekali diri dengan ilmu
dan
pengalaman. Bekal ketiga adalah mencoba melakukan kreasi untuk pengembangan
diri. Orang
tidak mungkin bersikap kreatif, kalau dia tidak aktif. Jadi, pengembangan diri
yang aktif akan mendatangkan kreasi, lalu dari kreasi akan melahirkan
produk-produk yang kelak menjadi prestasi. Oleh sebab itu, anak muda yang prestisius
adalah anak muda yang berilmu, berpengalaman, aktif, kreatif dan produktif. Rata-rata bangsa atau suku
bangsa yang sukses, pasti
ditempa oleh hal-hal yang tadi saya katakan.
Saya mengambil contoh orang
Cina. Orang Cina itu, sekalipun kaya, dia tidak akan membolehkan anaknya
bermanja-manja waktu kecil dan waktu muda. Biasanya dia akan menitipkan anaknya kepada
temannya, agar diberi pekerjaan dan diberi gaji yang sesuai. Lalu anak tersebut digembleng dengan dijadikan
kuli, agar kelak bisa memimpin kuli. Setelah
itu dia diberi
modal oleh orangtuanya untuk
diputar, sehingga dia mampu
mencari uang sendiri. Ketika orangtua sudah tidak ada, maka anak itu sudah produktif. Perhatikan
pabrik-pabrik milik orang Cina. Kalau ditinggal mati pemiliknya, pabrik itu bertambah besar, karena ada kreasi dan produktivitas dari anak yang meneruskannya.
Saya tinggal di Beijing selama satu minggu. Di sana tidak ada
adzan; maklum, negara komunis, tapi semua bangun pagi. Jam setengah empat sudah bangun. Kita ini
rumahnya di dekat mushalla, kadang tinggal
di
pondok, bersyahadat selalu, adzannya keras, tapi tidak mau bangun tidur. Jadi, adzannya ada di Indonesia,
bangunnya ada di Cina. Ini menunjukkan bahwa budaya kita dalam etos kerja harus
diperbaiki. Tidak bisa kita hidup begini-begini terus. Sebenarnya, untuk
memperbaiki etos kerja, diperlukan lapangan kerja yang cukup untuk tempat
berlatih. Sayangnya,
lapangan kerja itu tidak diciptakan oleh negara. Sehingga setelah selesai
kuliah, para sarjana banyak yang nganggur. Parahnya, di perkuliahan juga tidak
diajari berkreasi, sehingga membuat anak-anak terjerumus dalam ma’isyatan
dhanka (kehidupan yang sempit), karena tidak dipersiapkan utuk menghadapi
kesulitan hidup. Ini selayang pandang tentang ikhtiar.
Selanjutnya, karena dunia ini
isinya bukan hanya hal-hal yang bisa diikhtiarkan saja, melainkan ada hal-hal
yang lebih besar daripada dimensi ikhtiar, maka diperlukan doa. Misalnya, kita tidak bisa mengatur hidup
kita sendiri, umur kita berapa,
pasangan hidup kita
nanti siapa. Semua masih
“gelap” (belum jelas). Ini contoh hal-hal yang tidak bisa didesain, melainkan by accident (tiba-tiba; mufaja’ah).
Dalam kehidupan ada dua masalah. Pertama,
Masalah
yang bisa direncanakan. Kedua,
masalah yang ada dengan
sendirinya. Maunya tidak sakit, tapi sakit. Maunya duit gaji utuh, hanya untuk makan, ternyata untuk bayar rumah sakit. Mau
kita selamat, anak kita keserempet motor. Jadi,
di
dunia ini sangat
banyak masalah yang
bersifat aksiden (tiba-tiba); sehingga harus ada antisipasinya, yaitu doa.
Doa itu diperintahkan
oleh Allah SWT. Doa artinya minta, sedangkan
zikir
artinya ingat. Biasanya, ingat kepada Allah SWT dulu, baru minta kepada-Nya,
sehingga ada zikir, lalu ditutup doa. Perhatikan baik-baik firman Allah SWT:
ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Aku ijabahi (Q.S. al-Mu’min [40]: 60).
Artinya, karena doa itu perintah Allah SWT, terlepas dikabulkan atau
tidak, berdoa sudah mendapat pahala. Nah, setelah minta (doa), Allah SWT
akan menjawab. Arti mengijabahi adalah menjawab, menuruti atau memberi. Tapi ingat, yang
memberi adalah Allah SWT, bukan kita. Allah SWT berjanji memberi, cuma kapan
memberi, terserah yang memberi, bukan yang meminta; bagaimana cara memberi
maupun bentuk pemberiannya, semua terserah Allah SWT, bukan kita. Jadi, ketika
berdoa meminta sesuatu, lalu tidak segera terkabul, jangan merasa tidak
terkabul, siapa tahu kalau doa itu belum terkabul; siapa tahu kalau bentuk
pengabulannya tidak seperti yang kita bayangkan; siapa tahu apa yang kita
minta, ditukar oleh Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik; bahkan kalaupun
tidak diberi, itu merupakan Rahmat Allah SWT, sesuai kalam hikmah:
مَنْعُ
الْعَطاءِ، عَيْنُ الْعَطَاءِ
Artinya, kalau Allah SWT tidak
memberi, padahal kita sudah meminta; maka tidak adanya pemberian itulah
pemberian-Nya.
Contoh, tahun 1990 saya naik haji. Di sana saya meminta kepada Allah SWT supaya diberi kesempatan sebelum saya mati, untuk keliling dunia melihat dunianya
Allah. Tidak terkabul sejak 1990 sampai 1997. Februari tahun 1998, baru saya
pergi ke luar negeri. Semenjak itu tidak ada habis-habisnya ke luar negeri sampai sekarang. Artinya, kapan Allah SWT memberi, tidak tergantung pada kita.
Waktu saya jadi mahasiswa, saya
bercita-cita supaya bisa pidato seperti Bung Karno dan bisa menyanyi seperti
Mus Mulyadi. Saya berdoa, “Mugi-mugi
pidato koyo Bung Karno; iso nyanyi, kados Mus Mulyadi”. Mus
Mulyadi itu teman saya
satu angkatan sekolah. Allah SWT memberi saya bisa berpidato, sekalipun tidak memberi saya bisa menyanyi, karena suaranya tidak merdu. Coba
direnungkan,
umpama saya bisa menyanyi, saya tidak bisa membuat Pondok Al-Hikam, bisanya ngamen terus.
Jadi, tidak diberi oleh Allah SWT itu bukan berarti jelek; karena kalau diberi,
belum tentu lebih baik daripada tidak diberi.
Dalam
hal ini, keikhlasan orang berdoa sangat penting. Ini bedanya berdoa
dengan narget (memalak), “Ya Allah, mudah-mudahan saya jadi orang
kaya; awas kalau tidak diberi”.
Demikian juga harus ada keikhlasan bahwa kita itu meminta.
Sehingga kapan
diberi dan diberi
apa, itu semua terserah
Allah SWT. Kadang-kadang permintaan kita diganti oleh Allah SWT. Misalnya, orang berdoa minta kaya, tidak dikasih kaya, tapi dikasih
ilmu. Ada juga orang
berdoa minta pangkat,
tidak dikasih, tapi anaknya yang berpangkat.
Ketika
berdoa itu yakin diberi, tapi jangan mengatur pemberian. Kalau kita
mengaturnya, maka akan stres. Misalnya, orang berdoa: “Mudah-mudahan saya
bisa ke luar negeri”.
Setelah
ditunggu beberapa tahun, tidak
juga ke luar negeri.
Kalau tidak memiliki
kesabaran, dia akan stres.
Selain
ikhlas, kita harus ridha
terhadap ketentuan Allah SWT (al-ridha bi al-Qadha’). Tapi sekali-kali jangan diartikan, ridha
dengan ketentuan Allah SWT tanpa berikhtiar dan berdoa. Maksudnya adalah, tidak menyalahkan Allah SWT, tetapi selalu ikhtiar dan berdoa. Dalam al-Qur’an disebutkan,
وَلَا
تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا
الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (87)
Dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir
(Q.S. Yusuf [12]: 87).
Jadi,
jangan
berputus asa terhadap pemberian dan pertolongan Allah SWT; karena orang yang pantas berputus asa
adalah orang yang ingkar dan kafir kepada Allah SWT.
Hari ini banyak orang yang
ingkar, karena cita-citanya tidak
terkabul,
bunuh diri; ibu membunuh anak; suami membunuh istri; anak berani membunuh ibunya. Semua ini karena mereka putus asa dari pemberian Allah SWT. Di
dunia ini, negeri yang paling banyak orang bunuh diri itu Jepang. Di Jepang, orang malu saja akan bunuh diri. Kalau di Indonesia, orang malu, justru membunuh orang lain. Dengan
berpegang pada prinsip hidup ikhtiar dan doa, tidak ada jalan orang mengakhiri
hidupnya karena
putus asa.
Bersama-sama
dengan doa dan ikhtiar,
diperlukan kesabaran. Yaitu kekuatan
untuk menerima tenggang waktu yang ditentukan Allah SWT, dan menerima alternatif yang dipilihkan
oleh Allah SWT. Oleh
sebab itu, setelah meminta sesuatu kepada Allah SWT, al-Qur’an memerintahkan
kita untuk terus menjaga doa dengan sabar dan shalat:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Dan minta tolonglah
dengan sabar dan shalat (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).
Kenapa harus disertai sabar? Karena pengabulan doa itu terkadang tidak
instan, bisa 7 (tujuh) tahun baru dikasih; kadang 15 tahun baru dikasih; bahkan
sampai mati tidak dikasih, tapi dikasihkan kepada anaknya. Oleh sebab itu,
banyak anak yatim hidup bahagia ketika menjadi orang dewasa; dan banyak orang
dewasa yang rusak, padahal saat masih dikecil ditunggui orangtuanya sendiri. Jadi, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dalam mengatasi kehidupan ini dengan sabar
dan shalat.
Sabar itu memiliki dua pengertian. Pertama, sabar dalam waktu. Kedua, sabar dalam kesulitan. Sabar
dalam waktu berarti sabar menanti; sedangkan sabar dalam kesulitan berarti
memiliki ketahanan saat mendapatkan bencana kehidupan atau musibah. Artinya, daya ruhaninya melampaui musibah yang ada, sehingga dia bisa menahan.
Dengan
demikian, jelas sudah tugas hidup kita saat menghadapi masalah, yaitu berusaha
keras (ikhtiar), terus
minta kepada Allah SWT (berdoa), dan mohon pertolongan (isti’anah)
kepada Allah SWT dengan disertai kesabaran.
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, pengertian
shalat
pada ayat di atas adalah shalat
sunah. Kalau
shalat wajib memang sudah kewajiban. Jika
tidak dilakukan, berarti dosa. Sedangkan
shalat sunah adalah untuk pengembangan. Bentuknya bisa shalat sunah rawatib (qabliyah-ba’diyah), shalat malam, shalat dhuha, dan
sebagainya.
Sehingga kalau kita sampai tingkat kejenuhan,
mendekati keputus-asaan, cepat-cepat shalat. Kalau anak muda, masalah bisa
berupa telatnya kiriman uang dari orangtua; mengejar cewek, tapi yang dikejar
tidak mau, lalu menjadi stres, akhirnya jadi penyair, ngarang surat dan
mendadak jadi pujangga. Padahal tuntunan agama adalah mendirikan shalat. Dengan shalat, akan terjadi penurunan
ketegangan hidup.
Kalau tingkat yang dihadapi
sangat berat, maka berpuasa. Puasa itu paling jitu. Puasa berfungsi
sebagai ikhtiar menembus sesuatu yang tidak tertembus; dan melindungi (junnah)
dengan perlindungan yang kokoh dari bencana yang tidak mampu kita atasi
sendiri. Jika terkena fitnah,
gosip, ancaman, dan sebagainya; maka berpuasalah. Puasa yang dimaksud di sini adalah puasa
sunnah.
Misalnya, saya mau mendirikan Pesantren Al-Hikam, “Bisa apa tidak?”, “Ada nggak
nanti orang yang memberi
tanah?”,
“Kalau punya tanah, bisa membangun nggak?”,
“Duitnya
dari mana?”,
Padahal sehari
saya kadang makan, kadang
tidak; akhirnya saya berpuasa. Menurut hitungan secara rasional, tidak tertembus, ternyata tembus dengan
puasa. Ketika saya pindah dari Malang ke Surabaya, terus terjadi bentrokan hebat, banyak ancaman; maka untuk menghadapi yang
begini-begini ini, saya berpuasa.
Dalam periode hidup, kita tidak tahu sekali atau banyak kali mengalami goncangan seperti ini.
Mudah-mudahan sekali saja. Tidak ada orang yang lolos dari goncangan
yang sangat mengkhawatirkan, semua orang pasti kena, termasuk Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah diancam
dibunuh.
Oleh sebab itu, apabila suatu
ketika kita terpepet pada sesuatu; setelah mengerahkan seluruh daya-upaya tetap
tidak bisa berhasil; maka pesan saya, berpuasalah. Mengatasi sesuatu yang
menurut ukuran tidak teratasi; menembus sesuatu yang menurut sesuatu tidak
tertembus; melindungi diri yang menurut ukuran tidak selamat; berpuasalah.
Perlu
diingat bahwa shalat jangan dikira ringan, karena lanjutan ayat di atas adalah,
وَإِنَّهَا
لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Dan sesungguhnya shalat itu sangat berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’ (Q.S. al-Baqarah [2]:
45).
Maksudnya,
shalat
itu sangat berat, kecuali bagi
orang yang hatinya sudah mapan;
sehingga dia bisa konsentrasi dalam shalatnya.
Selanjutnya dibutuhkan sikap
istiqamah. Istiqamah itu, sudah diberi maupun belum diberi oleh Allah SWT,
terus saja konsisten. Istiqamah bermakna dua, “lurus dan terus”. Lurus itu jurusannya, terus itu tidak
berhenti atau rutin. Dengan kata lain, istiqamah itu ajeg
(selalu) dan jejeg (lurus).
Istiqamah merupakan sebuah kewajiban, karena tidak
ada jaminan Allah SWT akan
memberikan permohonan kita secara kontan dan instan. Rata-rata pemberian-Nya justru tidak kontan maupun instan. Jarak antara doa dengan terkabulnya doa ini harus
diisi dengan sikap istiqamah.
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30)
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami
adalah Allah”, lalu
mereka istiqamah; maka malaikat terus-menerus
turun
kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan
janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu” (Q.S. Fushshilat [41]: 30).
Orang yang istiqamah, akan diiringi oleh para malaikat, sehingga hidupnya menjadi bercahaya. Orang istiqamah itu, akan diberi cahaya (nur) oleh Allah SWT. Misalnya, orang istiqamah shalat malam
dibandingkan orang begadang. Sama-sama tidak tidur malam, ketika bangun di pagi
hari, muka orang begadang terlihat ruwet; sedangkan orang yang istiqamah shalat
malam, mungkin terlihat lelah dan ngantuk, terlihat lebih cerah.
Ini semua bekal untuk kehidupan. Jangan merasa hanya berbekal ilmu informatif yang didapat dari kampus,
semua akan beres. Ilmu informatif itu
penting, tapi belum segalanya. Wong rektornya sendiri bisa stres,
apalagi mahasiswanya. Ketua yayasannya berurusan polisi, apalagi pelajar yang numpang cari ilmu di situ. Sangat-sangat mungkin.
Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih tenang dan mantap. Tenang karena mengetahui duduk masalah kehidupan. Mantap
karena kita sudah melakukan perintah
Allah SWT berupa ikhtiar dan doa. Selebihnya kita bertawakkal. Itulah aturan Allah SWT untuk menghadapi kehidupan yang sangat rumit dan
berliku-liku.
Sayangnya anak muda sekarang, yang dikejar adalah kesenangan, bukan kualitas hidup. Yang dikejar adalah yang fatamorgana,
bukan yang riil.
Akademinya saja akademi fantasi, sedangkan fantasi itu khayalan. Anehnya, kok banyak
peminatnya. Lulusannya Indonesian Idol.
Ini semua merupakan awal dari sebuah kehancuran generasi muda, karena mereka
tidak mempersiapkan apa-apa untuk menghadapi tantangan hidup yang sesungguhnya saat dewasa. Semoga Allah SWT melindungi kita dan keluarga kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Posting Komentar untuk "Tips Sukses Hidup versi KH. Hasyim Muzadi"