Hidup Sesuai Hidayah dan Fitrah
Islam adalah Hidayah Allah SWT yang sesuai dengan Fitrah Manusia |
HIDUP SESUAI HIDAYAH DAN FITRAH
Almaghurlah KH. Hasyim Muzadi
Di dalam al-Qur’an disebut beberapa hidayah. Al-Qur’an juga berfugsi sebagai hidayah (petunjuk) tertinggi, karena tidak tergantung kepada selera orang; melainkan tergantung kepada kebenaran dan fitrah.
Di sini dibedakan antara nafsu dengan fitrah. Nafsu adalah kehendak atau kemauan kita, baik cocok ataupun tidak cocok dengan syari’at Islam. Sedangkan fitrah adalah apa yang seharusnya untuk kita. Agama Islam disebut agama fitrah. Maksudnya, agama yang seharusnya dipeluk oleh seluruh umat manusia.
Al-Qur’an disebut sebagai huda (petunjuk) terhadap fitrah manusia. Ada beberapa ayat yang berkenaan dengan hidayah Allah SWT, antara lain: Surat al-Baqarah [2]: 2,
Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (sebagai) petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 2).
Pada ayat ini, al-Qur’an disebut sebagai hidayah untuk orang-orang yang bertakwa. Jika tidak bertakwa, maka al-Qur'an tidak akan masuk kepada orang itu; atau orang itu sendiri yang tidak mau ”dimasuki” oleh al-Qur’an, karena huda di sini khusus bagi muttaqin (orang-orang yang bertakwa).
Kata hidayah juga disebutkan dalam Surat Yunus [10]: 57
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan obat bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus [10]: 57).
Yang dimaksud dengan kata ”mau’izhah” dalam ayat di atas adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu mempunyai banyak nama. Selain bermakna mau’izhah (nasihat), al-Qur’an juga disebut syifa’ (obat penyembuh) untuk penyakit yang ada di dalam hati. Kalau dalam ayat ini, al-Qur’an disebut obat penyembuh, berarti ada penyakit di dalam hati. Misalnya: penyakit sombong, dengki, iri, zhalim, dan sebagainya. Semua penyakit itu bisa disembuhkan dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah obat penyembuh.
Penyebutan al-Qur’an sebagai obat penyembuh ini tergantung pada tingkat beratnya penyakit hati yang diderita. Jika kadar penyakit hati yang diderita seseorang bersifat sedengan (sedang), maka cukup dengan membaca al-Qur’an. Kalau berat, maka orang itu harus mengerti al-Qur’an. Jika kadar penyakit itu lebih berat lagi, maka dia harus mengamalkan isi al-Qur’an.
Mengamalkan al-Qur’an juga memerlukan waktu, karena di sana masih ada proses penyembuhan. Misalnya: Orang yang sombong kemudian membaca Surat al-Ikhlash satu kali, tidak mungkin dia langsung nggak sombong. Terlebih dulu dia harus mengerti bahwa sifat sombong itu tidak boleh, dan mengerti alasan mengapa sifat sombong itu tidak boleh. Setelah itu beranjak pada tingkah laku. Misalnya, karena dia bersikap sombong, kemudian ada orang yang nempeleng (memukul)-nya. Setelah itu baru dia bisa merasakan bahwa sombong itu memang tidak boleh.
Ayat lain yang secara tersirat membahas hidayah adalah Surat Thaha [20]: 124,
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Q.S. Thaha [20]: 124).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berpaling dari huda (hidayah) atau keharusan fitrah, maka dia akan hidup dalam kesempitan (ma’isyatan dhanka). Maksudnya, sempit hatinya, karena dia bertentangan dengan fitrah hati. Misalnya: Mestinya orang harus bersikap sabar terhadap temannya, justru dia bersikap zhalim. Mestinya bersikap baik sama tetangga, namun dia bersikap tidak baik kepada tetangga. Mestinya harus mencari rezeki yang halal, akan tetapi dia tidak mau, maka rezekinya menjadi sempit. Jika seseorang melawan fitrah bersilaturrahim, maka pergaulannya menjadi sempit. Orang diperintahkan belajar, namun dia tidak mau menjalankannya, akhirnya dia masuk pada kesempitan menjadi orang goblok. Dengan demikian, hidup orang yang bertentangan dengan huda (hidayah) atau fitrah itu menjadi sempit dan hatinya yang menjadi sempit.
Orang muslim itu terkadang hatinya lapang, akan tetapi hidup lahirnya sempit. Misalnya, seseorang itu shalih, tapi miskin. Berarti yang dhanka (sempit) adalah bagian luar (lahiriah). Berarti, petunjuk (hidayah) untuk bagian yang luar itu, tidak dia lakukan. Begitu juga dengan orang-orang kaya yang sempit hatinya, mungkin longgar bagian luarnya. Kaya tapi gelisah. Berarti dia juga tidak melakukan petunjuk untuk bagian dalam sebagaimana mestinya. Ma’isyatan dhanka (kehidupan yang sempit) itu berlaku pada semua aspek, tergantung pada sebelah mana seseorang melawan hidayah Allah SWT.
Selain berfungsi sebagai huda, al-Qur’an juga berfungsi sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika seseorang tidak beriman, maka al-Qur’an juga tidak akan menjadi rahmat baginya sebagaimana disebutkan dalam Surat Fushshilat [41]: 44,
Dan jikalau kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: ”Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing sedang (Rasulullah adalah orang) Arab? Katakanlah: ”Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin” (Q.S. Fushshilat [41]: 44).
Di sini disebutkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk dan obat penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Jadi, bacalah al-Qur’an sebanyak-banyaknya, terutama di bulan Ramadhan, kemudian pelan-pelan penyakit hati kita akan disembuhkan oleh Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Isra’ [17]: 94,
Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala telah datang petunjuk kepadanya, kecuali mereka mengatakan: ”Apakah Allah telah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (Q.S. al-Isra’ [17]: 94).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak percaya kepada Rasulullah SAW, tentu dia tidak akan bisa menerima hidayah itu untuk selamanya sebagaimana disebutkan dalam al-Qashash [28]: 57,
Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami". Dan apakah kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (Q.S. al-Qashash [28]: 57).
Kalau orang mau berfikir dan mendapat hidayah, maka sesungguhnya seluruh apa yang dilihat dan apa yang kita butuhkan, seharusnya menambah keimanan kepada Allah SWT. Ketika kita melihat tumbuh-tumbuhan, kita berpikir bagaimana tanah yang tidak ada apa-apanya itu bisa menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang berwarna-warni dan rasa buahnya bermacam-macam; padahal tanah itu tidak ada rasanya. Kalau kita mau berfikir, bagaimana mungkin kita tidak menerima hidayah dari Allah SWT?.
Contoh: Kita hidup harus minum air, lalu siapa yang bikin air?. Kita hidup harus makan nasi, siapa yang telah menumbuhkan padi?. Kita membutuhkan gizi buah-buahan, siapa yang menumbuhkan itu semua? Inilah yang disinggung dalam Surat al-Waqi’ah [56]: 63-74,
Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami kah yang menumbuhkannya?. Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, lalu jadilah kamu heran dan tercengang. (Sambil berkata): ”Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian”. Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kami kah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, lalu mengapa kamu tidak bersyukur?. Maka terangkanlah kepada-Ku tentang api yang kamu nyalakan. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 63-74).
Agar memiliki akhlak yang sesuai hidayah atau fitrah, maka modal yang dibutuhkan adalah iman. Karena posisi iman itu tidak stabil, kadang ingat Allah SWT, kadang tidak, maka iman harus dirawat dengan ibadah. Jadi, ibadah adalah perawatan iman.
Di sisi lain, iman juga bisa mengalami kerusakan. Sedangkan kerusakan yang paling besar datang dari tiga jurusan, yaitu: Harta, Tahta dan Wanita. Ketiganya ini merupakan kenikmatan sekaligus kecelakaan. Ketiganya bagaikan madu sekaligus racun, tergantung cara mendekatinya. Meskipun demikian, ketiga-tiganya harus ada di dunia ini.
Pertama, Wanita
Misalnya, jika ada anak laki-laki tidak tertarik pada wanita, berarti dia tidak normal. Dia perlu diurus (diselidiki) beres atau tidak ”onderdil”-nya. Karena dalam diri laki-laki ada ketertarikan pada wanita, maka dia akan mendekat. Ketika terjadi pendekatan, ada dua jenis jalan, yaitu jalan syariat atau jalan setan. Jika menempuh jalan syariat, maka wanita akan menjadi rahim (rahmat), ketika wanita itu menjadi istri shalihah. Kalau laki-laki itu asal nubruk saja atau menempuh jalan setan, maka yang terjadi adalah pencemaran nama baik, kerusakan, kehancuran dan kezhaliman.
Kalau keinginan laki-laki kepada wanita berdasarkan syariat, maka dia akan mendapatan pahala yang besar dari Allah SWT. Inilah hebatnya rahmat Allah SWT. Nikah itu, selain membawa nikmat, juga berpahala. Dengan menikah, berarti seseorang telah melaksanakan separuh kewajiban agama, karena dari nikah itu lahir keturunan, ada hubungan mahram, waris, silsilah, bahkan munculnya masyarakat. Jika melalui jalur setan, seperti pergaulan bebas (free sex), maka yang terjadi adalah kehancuran. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendekati jalan setan.
Jadi, dalam diri wanita itu terdapat kebahagiaan sekaligus kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat. Semuanya terkumpul menjadi satu tempat. Maka pilihlah cara yang melalui huda atau petunjuk Allah SWT. Saya ini orang tua dan pernah muda. Kadang-kadang, anak muda itu kebelet dan tidak bisa ditunda. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memberi jalan (solusi) dengan cara wudhu, shalat, puasa, dan sebagainya.
Kedua, Harta
Tantangan kedua yang tidak kalah dahsyat adalah harta. Di dalam harta itu ada kenikmatan sekaligus kehancuran. Mengapa ada kenikmatan, karena bagaimanapun juga seseorang tidak mungkin hidup tanpa harta. Sekalipun orang sufi, dia tetap harus makan dan tidak boleh terus-menerus meminta orang lain. Maka tidak bisa dihindari lagi, orang perlu mencari harta. Kembali lagi pada prosedur mencarinya, apakah melewati jalan huda (petunjuk) atau syaithanan (setan). Hanya saja, kalau dalam masalah wanita, hubungannya dengan syahwat; sedangkan dalam masalah harta, hubungannya dengan nafsu. Nafsu itu banyak jenisnya: nafsu syahwat, nafsu makan, nafsu minum, dan lain-lain.
Carilah harta buat mereka yang memerlukan. Akan tetapi, yang penting adalah bagaimana cara memperolehnya, apakah melalui hidayah Allah SWT atau jalan setan. Perhatikan baik-baik!, semua pemberian Allah SWT di dunia ini sebenarnya gratis, tidak perlu membeli. Mengapa kita harus membeli pemberian-Nya? Karena pemberian tersebut sudah terlanjur dimiliki orang lain. Semua yang ada di hutan ataupun di lautan bebas itu gratis. Namun, ketika kayu sudah ditebang dan digergaji orang, maka untuk pindah tangan diperlukan adanya transaksi. Sesungguhnya dalam masalah harta ini, Allah SWT sangat mampu, karena Allah SWT tidak memerlukan harta. Umpama kamu hidup di suatu pulau sendirian dan tidak ada orang lain, maka pulau itu pek-peken lan badok-badoken (milikilah dan nikmatilah sepuasmu).
Permasalahan yang gawat adalah ketika harta itu sudah menjadi hak asasi atau hak adami seseorang, lalu kamu ingin memindahkannya, maka harus ada prosedur ’an taradhin (sama-sama rela). Kalau pemindahan harta tidak melalui prosedur ini, maka kamu akan kebrekan (tertimpa) harta itu.
Kalau kita mempunyai dosa kepada Allah SWT, maka cukup istighfar, karena Allah SWT Maha Pengampun dan tidak memerlukan apa-apa. Kalau ada orang mencuri, maka cukup istighfar, karena Allah SWT tidak memerlukan barang yang dia curi. Jika ada orang mencuri sepeda, Allah SWT mempunyai zat besi di seluruh dunia ini; dan kalau dibuat sepeda, entah berapa banyak sepeda yang bisa dihasilkan. Namun dalam hal ini, yang dirugikan adalah si pemilik sepeda. Oleh karena itu, Allah SWT sangat ketat dalam masalah hak adami (Hak Asasi Manusia atau HAM).
Adalah kebohongan belaka jika orang-orang Barat mengatakan orang Islam tidak tahu-menahu tentang HAM, padahal yang tidak mengerti itu sebenarnya orang-orang Barat. Orang-orang Barat menjajah dunia Timur, dan tidak ada ceritanya Timur menjajah Barat, karena orang Timur itu bodoh-bodoh. Mustahil yang bodoh menjajah yang pintar. Bangsa Barat itu telah menjajah, memeras, menyedot dan mengeksploitasi dunia Timur. HAM itu menyangkut harta, kehormatan, fisik, dan keamanan seseorang. Jadi, ”rajanya” HAM adalah Islam.
Di sini ada penjelasan, jika ada kepentingan kolektif yang emergency (darurat), maka hak pribadi bisa dikolektifkan. Misalnya, semua sumur di kampung ini kering, kecuali sumur milik Pesantren Al-Hikam. Warga terancam mati kehausan, maka sumur milik Pesantren Al-Hikam harus dikuasai untuk kepentingan umum. Yang demikian itulah contoh hak perorangan harus dikolektifkan, dan tidak boleh egois.
Ketiga, Tahta
Tantangan ketiga adalah tahta, yaitu kedudukan atau kekuasaan. Kekuasaan bisa menimbulkan menikmatan yang luar biasa. Dalam Hadis Rasulullah SAW disebutkan bahwa al-Imam al-’Adil (penguasa yang adil) derajat surganya di atas al-Alim al-'Amil (ulama yang mengamalkan ilmunnya). Kalau ulama itu cuma ngomong, misalnya shadaqah itu penting, lalu membacakan dalil:
Ketika manusia sudah meninggal dunia, maka segala amalanya putus kecuali tiga hal: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya (H.R. Muslim).
Sedangkan pekerjaan penguasa yang adil adalah bagaimana membuat rakyatnya menjadi makmur sehingga bisa bersedekah. Tentu pekerjaan itu lebih sulit.
Ulama mengatakan: ”Mencuri itu haram”, dalilnya Surat al-Ma’idah [5]: 38,
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Ma’idah [5]: 38).
Sedangkan pekerjaan pejabat yang adil adalah nguber maling (menangkap pencuri). Pekerjaan ini lebih sulit daripada menceramahi para pencuri dengan dalil-dalil. Semua itu, jika si penguasa memang adil.
Akhirnya, tahta pun bisa membuat seseorang menuju surga lebih cepat; juga bisa membuat seseorang menjadi keraknya api neraka, yaitu bagi para penguasa yang zhalim.
Hal yang menarik di sini adalah definisi zhalim. Bayangan kita selama ini, zhalim adalah bengis. Tetapi ta’rif (definisi) zhalim yang asli adalah: "Meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya"
Kalau ada seorang penanggung jawab (pemerintah), rakyatnya korat-karit (kocar-kacir), makannya ndak mesti (tidak pasti), tapi dia njegidek wae (acuh tak acuh). Sikap yang seperti ini adalah kezhaliman. Jadi, melakukan sesuatu tidak pada tempatnya termasuk zhalim; tidak melakukan sesuatu ketika harus melakukan sesuatu, juga perbuatan zhalim.
Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim (Q.S. Ali ’Imran [3]: 57).
Jadi kuncinya terletak pada huda (petunjuk). Jika gerakan kita mengikuti petunjuk itu, maka kita akan selamat. Jika gerakan kita tidak mengikuti huda (petunjuk), maka kita akan rusak. Akan tetapi, karena manusia selalu salah, maka disediakan istighfar dan taubat. Allah SWT Maha Penerima taubat, sehingga untuk masuk surga, seseorang tidak perlu 100% bagus. Jika dia mempunyai 51 % saham bagus, dia sudah masuk surga. Firman Allah SWT dalam Surat al-Qari’ah [101]: 6-7,
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Q.S. al-Qari’ah [101]: 6-7).
Akan tetapi, jika andil kita cuma 49 %, maka sesuai dengan Surat al-Qari’ah [101]: 8-9,
Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah (Q.S. al-Qari’ah [101]: 8-9).
Karena di sini selisihnya sedikit, maka ketika dosa seseorang sudah ditebus dengan hukuman (siksaan), maka dosanya berkurang, sehingga pahalanya naik menjadi 51 %. Namun kalau kebaikan kita cuma 3%, yo klenger (berat sekali); karena untuk menaikkan 3 % menuju 51 %, entah harus berapa kali awak iki diuntal ulo butak (dimakan ular yang ada di neraka). Pengampunan dosa ini adalah salah satu rahmat. Jadi, Allah SWT menurunkan huda (petunjuk) dan rahmat (rasa belas kasih) kepada para makhluk-Nya.
Posting Komentar untuk "Hidup Sesuai Hidayah dan Fitrah"