Syariat dan Hakikat Pernikahan
SYARIAT DAN HAKIKAT PERNIKAHAN
Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi
Setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk kasb al-ma’asyi (mencari kebutuhan hidup), Allah SWT memerintahkan kita agar memenuhi kebutuhan syahwat al-farji (kebutuhan seksual). Kebutuhan seksual ini hanya melalui satu pintu, yaitu pernikahan; sedangkan pintu lain tidak diperbolehkan.
Muqaddimah (ta’aruf) hukumnya boleh, tapi tidak boleh kebabasen (melanggar batas). Yang dimaksud muqaddimah di sini adalah proses sebelum perkawinan. Muqaddimah dilakukan melalui perkenalan bi al-bashar (secara fisik), misalnya: saling bertemu. Kemudian dilanjutkan perkenalan bi al-bashirah (secara psikis) dengan cara mengamati apakah calon pasangannya itu baik atau tidak?. Ukurannya adalah ukuran agama dan akhlak. Sebab tidak ada orang yang hidupnya sukses, tanpa ada wanita shalihah di belakangnya. Demikian juga, tidak ada laki-laki yang hebat, tanpa ada istri yang hebat (shalihah) di belakangnya. Dalam hal ini, tidak boleh melihat sesuatu terlalu jauh, karena nggak kelihatan; begitu juga tidak boleh melihat terlalu dekat.
Proses selanjutnya dinamakan dengan khitbah (pinangan). Pinangan itu belum masuk nikah. Proses terakhir adalah nikah. Rasulullah SAW bersabda:
Pernikahan adalah sunahku; maka barangsiapa membenci sunahku, maka dia bukan golonganku (H.R. Ibnu Majah).
Maksud Hadis ini adalah: Lembaga nikah itu sunah Rasulullah SAW. Kalau ada orang menentang sunah ini, maka dia bukan termasuk umat Nabi Muhammmad SAW.
Yang dimaksud ”orang yang membenci sunahku” dalam Hadis ini bukan berarti orang yang tidak nikah atau belum nikah, lalu dianggap keluar dari umat Nabi Muhammad SAW; yang dimaksud adalah orang yang menentang lembaga pernikahan. Artinya, dia berpandangan bahwa hidup ini ora usah (tidak perlu) nikah, seperti halnya ayam, bebek, dan sebagainya. Apakah ada orang yang begitu di dunia ini? Ada dan banyak.
Hampir separuh dari deretan negara di benua Eropa tidak menggunakan lembaga pernikahan sebagaimana syariat Nabi Muhammad SAW. Atas nama demokrasi, maka mereka membolehkan laki-laki menikahi wanita; wanita menikahi wanita; dan laki-laki menikahi laki-laki. Semua itu dianggap sah menurut hukum negara. Kalau wanita menikahi wanita, saya tidak bisa membayangkan, karena saya tidak pernah menjadi wanita. Tapi kalau laki-laki menikahi laki-laki, mau apa dia?, apa mau bermain anggar?.
Jadi, yang dimaksud ”orang yang membenci sunahku” adalah mereka yang menentang atau menghilangan lembaga maupun aturan perkawinan. Kalau seseorang masih belum menikah, itu hanya masalah nasib; memang potongannya belum nututi (dia belum pantas menikah). Misalnya, sudah punya inceng-incengaan (calon) lalu keduluan (didahului) orang lain; atau sudah cocok, tapi tidak berani menikah, karena masalah biaya. Itu semua hukumnya tidak apa-apa. Akan tetapi kalau ada orang menentang lembaga perkawinan, berarti dia kafir (keluar dari Islam).
Sebenarnya Undang-Undang Eropa tentang pernikahan di atas sudah ditentang keras oleh orang-orang Katholik, Protestan, dan sebagainya; tapi mereka nggak kuat, karena masih kalah kuat dengan kaum-kaum sekuler yang sudah tidak lagi menghitung agama sebagai panduan hidup.
Di dalam al-Qur'an, posisi laki-laki dan wanita itu tidak atas bawah, tetapi sama-sama mempunyai kelebihan. Dalam posisinya sebagai makhluk Allah SWT, sebenarnya posisi laki-laki dan wanita itu sejajar. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Nisa’ [4]: 34,
Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (Q.S. al-Nisa’ [4]: 34).
Allah SWT menciptakan laki-laki dan wanita, masing-masing mempunyai kelebihan. Laki-laki lebih kuat fisiknya, sedangkan wanita lebih lembut fisiknya. Di mana letak kekuatan wanita?, yaitu pada sifat lembutnya. Jadi, kekuatan wanita justru terletak pada kelembutannya, sehingga orang laki-laki merasa senang dan ingin melindunginya.
Laki-laki lebih tegas, sedangkan wanita lebih teliti. Wanita itu nomor satu dalam ngitung-ngitung (menghitung), ngiling-ngiling (mengingat), cerito (bercerita). Misalnya, dalam menceritakan peristiwa tabrakan yang terjadi hanya 5 menit, kaum wanita bisa menceritakan kejadian itu dalam 5 hari. Jadi, kalau orang laki-laki itu makro, sedangkan wanita itu mikro. Maksudnya: Laki-laki biasanya menyelesaikan permasalahan secara umum, sedangkan wanita itu ngopeni (mengurusi) masalah yang detail.
Laki-laki pada umumnya cerdas, akan tetapi wanita lebih intuitif atau perasaannya lebih peka. Jangan merasa bahwa ketika kita berada di hadapan wanita, tingkah-laku kita tidak direkam; karena dia sudah tahu apa yang kita mau dan hal itu tidak perlu kursus. Namun, wanita juga banyak yang cerdas. Buktinya, sekarang ini juara-juara kelas banyak berasal dari kalangan wanita; karena laki-laki sekarang ini hanya gaya tok.
Wanita lebih tahan, sedangkan laki-laki lebih agresif. Bayangkan!, mana mungkin kaum laki-laki mampu mengurus anak dari lahir sampai usia 2 tahun?. Akan tetapi, kaum wanita mempunyai ketahanan untuk itu. Nah, ketika hidup bersama dalam rumah tangga, datanglah keputusan Allah SWT bahwa yang bertugas sebagai penanggungjawab keluarga adalah laki-laki. Kenapa demikian?, karena laki-laki lebih bisa bertanggung-jawab. Oleh karena itu, al-Qur’an menyebut kaum laki-laki sebagai qawwamuna ’ala al-nisa’ yang berarti: ”orang yang harus menegakkan hak-hak wanita”. Jadi, posisi laki-laki dalam keluarga bukan penguasa, melainkan penanggung-jawab.
Laki-laki lah yang bertugas menegakkan hak-hak wanita. Adapun hak-hak wanita itu antara lain: Mendapat nafkah lahir-batin; kesempatan ibadah; kebutuhan makan-minum; penjagaan dan keselamatan diri maupun harga diri; dan sebagainya. Semuanya menjadi tanggung-jawab laki-laki.
Sekali lagi, posisi laki-laki dalam keluarga bukan penguasa, melainkan penanggung-jawab. Kalau laki-laki berpikir sebagai penguasa dalam keluarga, maka dia mudah untuk menyakiti istrinya. Posisi yang benar adalah laki-laki harus bertanggung-jawab penuh terhadap hak-hak wanita.
Berkaitan dengan budaya suatu bangsa, seperti di Indonesia, misalnya: wanita ikut kerja dan laki-laki juga kerja; sebenarnya menurut hukum fikih, rezeki yang diperoleh suami adalah milik istri dan anaknya; sedangkan kalau istri bekerja, maka hasil kerjanya menjadi miliknya sendiri, karena istri tidak dibebani memberi nafkah. Jadi, sudah sebaik-baik wanita Indonesia jika dia bekerja, kemudian hasilnya digabung dengan harta suami, kemudian dipakai bersama-sama. Itu sudah Masya Allah luhurnya wanita Indonesia. Oleh karena itu, di Indonesia dikenal warisan gono-gini.
Warisan gono-gini itu sebenarnya bukan syariat Islam; yang sesuai dengan syariat Islam adalah faraidh. Adanya warisan gono-gini dikarenakan wanita ikut kerja bersama suami, sehingga dia mempunyai hak; kemudian bagiannya itu diambil terlebih dulu sebelum berlaku hukum waris. Hal itu memang diperbolehkan, karena wanita tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada suami dan anaknya. Jadi, kalau suami-istri sudah berkerja sama, itu sudah luar biasa dan bukan termasuk hukum, melainkan sudah masuk lingkup budaya. Yang kebangetan (keterlaluan) adalah istri disuruh kerja, sedangkan laki-laki ngerek manuk (tidak kerja, sibuk memelihara burung), misalnya yang terjadi di Solo, Klaten, Jogja, dan sebagainya. Sebenarnya, hal ini menunjukkan hilangnya tanggung-jawab laki-laki terhadap istri.
Sekarang, kalau laki-laki bertanggung-jawab penuh atas wanita, maka imbalannya adalah wanita harus taat secara penuh kepadanya. Kalau istri ngawur (teledor), suami boleh nyentak (membentak), tetapi tidak boleh menyakiti atau melukai fisiknya. Istri harus taat penuh, karena suami juga harus bertanggung-jawab penuh. Sehingga kesetiaan itu berjalan setingkat dengan tanggung-jawab.
Kalau tanggung-jawab suami itu melorot, maka istri boleh protes. Misalnya: Suami selama tiga hari tidak pernah pulang, istri boleh tidak memperkenankan suaminya masuk ke dalam rumah. Saya mempunyai teman yang beristri dua, dan menurutnya lebih repot daripada beristri tiga. Dia tidak boleh tidur di rumah istri yang pertama dan juga tidak boleh tidur di rumah istri kedua, akhirnya dia tidur di kantor NU. Jadi, di sini ada satu ditambah satu sama dengan nol. Padahal, mestinya satu tambah satu ada dua, itu adalah hitungan matematis (rasional); namun dalam hal perasaan (emosional), ada kalanya satu tambah satu sama dengan nol; sebagaimana orang benci tapi rindu.
Ketika kewajiban suami sebagai penanggung-jawab sudah turun pada tingkat yang tidak bisa ditoleransi, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Akan tetapi, perceraian yang hanya dikarenakan alasan tidak cocok, hukumnya tidak boleh. Itulah yang dalam Hadis disebut dengan,
Maksudnya: Perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah perceraian; karena akibatnya bisa fatal bagi anak, misalnya: anak akan mengalami goncangan-goncangan kehidupan.
Kalau tanggung-jawab laki-laki sudah menurun, kemudian ada hak wanita minta cerai; maka sepanjang laki-laki tidak tanggung-jawab atau sudah tidak bisa memberi nafkah lahir-batin, pengadilan boleh menerima gugatan itu. Akan tetapi, kalau hanya masalah ”tidak suka”, maka harus dibereskan lebih dulu, sebelum menerima gugatan perceraian. Bagaimana caranya?, yaitu dengan cara rundingan (musyawarah) keluarga. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Nisa’ [4]: 35,
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Nisa’ [4]: 35).
Maksudnya: Hendaknya didatangkan keluarga atau sesepuh (tokoh senior yang dihormati) dari pihak wanita dan laki-laki untuk berunding dan memberi nasihat kepada pasangan suami-istri. Jika masalahnya bukan berkaitan dengan hilangnya tanggung-jawab suami; mungkin pertikaian suami-istri disebabkan ada godaan kiri-kanan.
Betapapun tinggi derajat laki-laki, kalau ada kehancuran keluarga, maka derajatnya akan turun. Anehnya televisi kita saat ini pekerjaannya ngubek-ngubek (mengobrak-abrik) masalah keluarga. Itu hukumnya tidak boleh (haram), karena laki-laki berkewajiban menjaga rahasia wanita; demikian juga sebaliknya. Wanita tidak boleh ngeler (membuka lebar-lebar) rahasia suaminya di pasar; begitu juga laki-laki tidak boleh menceritakan kelemahan istrinya kepada orang lain. Jadi, keluarga itu daerah otonom.
Lho TV kok edel-edel (Televisi malah mengobrak-abrik). Anehnya, yang diedel-edel itu kok merasa bangga mergo mlebu TV (pihak yang diobrak-abrik justru merasa bangga, karena masuk acara televisi). Itu kan hanya orang mengong (dungu) yang melakukannya!. Padahal dia telah membuka rahasianya sendiri di muka masyarakat, kok nggak isin? (kok tidak malu). Belum lagi pengaruh sangat jelek yang bisa menimpa anak-anaknya. Sekarang banyak artis yang mengeluh karena diberitakan oleh infotainment, bahwa mereka yang mestinya tidak ingin cerai, justru malah menjadi cerai, karena sering digosipkan ke sana ke sini. Padahal orang yang membuat orang lain bercerai itu berdosa dan besarnya dosa diibaratkan oleh Rasulullah SAW seperti buih lautan.
Jadi, istri mempunyai hak-hak atas laki-laki; begitu juga sebaliknya. Misalnya: Jika istri mau pergi, maka dia harus izin kepada suami. Tapi yang dimaksud di sini adalah laki-laki yang bertanggung-jawab, bukan laki-laki yang brengsek. Bahkan untuk mengerjakan puasa sunah saja, istri harus pamit (izin) kepada suami. Kenapa? karena kalau istri berpuasa, dia tidak boleh disentuh. Pertanyaannya, mampukah suaminya bertahan atas kondisi itu, jika dia terus-menerus minum ”extra joss”.
Aturan-aturan timbal balik hak dan kewajiban antar suami-istri itulah yang disebut dengan mu’asyarah bi al-ma'ruf (keseimbangan antara hak dan tanggung-jawab). Kalau semua ini sudah ditepati, maka Allah SWT akan memberikan tiga hal, yaitu: Sakinah, Mawaddah dan Rahmah.
Sakinah (ketenangan) berbeda dengan kesenangan. Kalau kesenangan itu berkaitan dengan hidayah (petunjuk), maka akan menjadi ketenangan. Sedangkan jika kesenangan berkaitan dengan nafsu, maka yang terjadi adalah nikmat membawa derita; padahal yang benar adalah derita membawa nikmat.
Barang-barang haram itu itu biasanya nikmat membawa sengsara. Sedangkan barang-barang yang berpahala itu biasanya derita membawa nikmat. Yang parah adalah derita membawa derita. Misalnya: Wis goblok, melarat (sudah bodoh dan miskin), nggak masuk Islam. Itulah yang disebut orang yang rugi di dunia dan akhirat sekaligus.
Ada cerita, saya mempunyai teman di Amerika. Dia adalah anak muda yang cerdas dan saleh menurut ukuran agama Katholik, karena dia rajin ke gereja. Tidak semua orang Katholik rajin ke gereja, karena menurut penelitian, sekitar 65% gereja di Eropa itu kosong dan tidak ada jamaahnya. Bahkan pengurus NU yang di Melbourne, Australia, membeli bekas gereja dengan harga murah untuk dibuat kantor NU.
Pemuda ini menjadi pendamping saya untuk berbicara maupun bermusyawarah selama saya di Amerika. Anak muda ini sudah lama bertemu saya, sehingga sepertinya dia percaya kepada saya. Dia berkata: ”Saya minta pertimbangan Anda. Bagaimana kalau saya menjadi pastor?”. Saya menjawab: ”Menurut pendapat saya, itu adalah hak kamu. Cuma, untung kok (hanya saja, untungnya) yang mau menjadi pastor itu kamu. Seandainya yang jadi pastor itu ayah kamu, sekarang kamu ada di mana?”. Dari situ, dia mulai tertarik untuk belajar Islam. Saya lanjutkan jawaban saya: ”Kalau semua orang tidak menikah, maka dunia ini akan tutup dalam waktu 80 tahun lagi”. Akhirnya, dia mulai belajar Islam, dan kabarnya dia akan masuk Islam. Kalau memang dia mau masuk Islam, dia ingin pernyataan masuk Islam-nya dilakukan di Al-Hikam. Jadi, jika kita normal, maka kita harus kawin. Perkoro durung iso, yo ndungo (Jika belum mampu menikah, maka berdoalah).
Posting Komentar untuk "Syariat dan Hakikat Pernikahan"