Melindungi Tauhid dari Godaan
Inti Tauhid Islam adalah Laa Ilaaha illa Allah |
Ikhtisar:
Tulisan ini membahas tentang bagaimana cara melindungi tauhid dari berbagai godaan yang mendera. Dimulai dari pemahaman terhadap kalimat Laa Ilaaha illa Allah melalui akal, lalu dilanjutkan dengan penghayatan maknanya melalui hati, sehingga menimbulkan hati yang tenang (tathma'innu al-qulub). Tauhid yang kokoh berfungsi untuk menjaga diri dari berbagai godaan, utamanya: keyakinan bahwa ada kekuatan yang independen di luar kekuasaan Allah SWT; keberanian untuk melawan ajaran-ajaran fundamental Islam; serta kebodohan untuk mempercayai takhayul dan khurafat.
MELINDUNGI TAUHID DARI GODAAN
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan satu hal, yakni menjaga dan mengembangkan tauhid atau Wahdaniyyatullah (Ke-esa-an Allah SWT).
Pengertian Laa Ilaaha illa Allah
Di dalam agama Islam, kata kunci dari tauhid adalah Laa Ilaaha illa Allah. Formulasi kalimat tauhid ini mengandung pengertian dan pengamalan.
Mengenai pengertian, kalimat Laa Ilaaha illa Allah berarti Laa Ma’buda illa Allah. Kata Ma’bud di sini mempunyai dua makna: Pertama, Ma'bud artinya ”disembah”, karena ibadah itu artinya penyembahan. Dengan demikian, makna kalimat Laa Ma’buda illa Allah adalah ”Tidak ada yang boleh disembah kecuali Allah”. Kedua, Ma’bud artinya ”ditaati”, sehingga kalimat Laa Ma’buda illa Allah bermakna: ”Tidak boleh ada yang ditaati kecuali Allah”. Ini baru pemaknaan formulasi kata-kata.
Mengapa kalimat Laa Ilaaha illa Allah dimulai dengan bentuk negatif (nafy) dan tidak langsung menggunakan bentuk positif (afirmatif; itsbat), semisal: Allahu Ilahun (Allah adalah Tuhan). Jadi, kalimat Laa Ilaaha illa Allah itu meniadakan dulu (nafyu), baru ada penetapan (itsbat). Alasannya, kalau seseorang dibiarkan memikirkan tuhan tanpa agama, maka tuhannya akan jatuh di luar Allah SWT. Misalnya: Menuhankan lautan, api, makhluk halus, angin, dan sebagainya. Biasanya yang dipertuhan adalah gejala alam yang dianggap menakutkan atau dianggap menghidupi. Contoh yang dianggap menakutkan: Api, angin, badai, lesus (topan), dan lain-lain. Contoh yang dianggap menghidupi: padi, air, dan lain-lain; sehingga ada istilah Dewi Padi dan Dewa Air.
Dengan demikian, kalau seseorang dibiarkan mencari tuhan sendiri, maka dia akan menuhankan alam. Dalam hal ini hanya ada dua kategori: tuhan dan alam. Jadi, selain Allah SWT bukanlah tuhan, melainkan alam. Tidak ada unsur kealaman di dalam Allah SWT dan tidak ada unsur ketuhanan di dalam alam.
Sekarang ini, karena pendidikan agama yang kurang dan banyaknya kegelisahan manusia, maka tauhid mulai terganggu, sehingga mulai ada orang yang menuhankan kebutuhan, menuhankan alam, menuhankan alam gaib, dan semacamnya. Sekalipun gaib, posisinya masih tetap sebagai alam.
Adapun faktor-faktor yang membuat tauhid kita terganggu antara lain: Pertama, Pengertian tauhidnya memang tidak beres (benar). Kedua, Godaan kebutuhan atau ada interest (mashlahiyyah; kepentingan). Ketiga, Kemiskinan atau ketidak-terjangkauan. Kemiskinan itu khusus menyangkut ekonomi, sedangkan ketidak-terjangkauan berarti seseorang ingin memaksakan sesuatu, tapi gagal.
Kemiskinan bisa menggoncang keimanan, sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang artinya, ”kefakiran itu bisa mendorong orang menjadi kafir”.
Kafir di sini ada dua bagian: Pertama, Kafir akidah yang berarti keluar dari Islam. Seperti orang yang bunuh diri sekeluaga, sedangkan bunuh diri itu keluar dari Islam. Kedua, Kafir nikmat yang berarti tidak bisa lagi bersyukur terhadap nikmat Allah SWT.
Penghayatan Laa Ilaaha illa Allah
Demikianlah faktor-faktor pengganggu tauhid. Oleh karenanya, posisi tauhid kita harus diperkuat. Cara memperkuat tauhid kita adalah dengan cara memproses pengertian menjadi penghayatan. Yaitu bagaimana agar pengertian kita terhadap Laa Ilaaha illa Allah diproses menjadi rasa terhadap Laa Ilaaha illa Allah tersebut. Penghayatan itu berbeda dengan pengertian. Kalau pengertian itu semata-mata jalurnya adalah rasio, sedangkan penghayatan merupakan kelanjutan rasio itu, yang kemudian diterima oleh rasa (hati).
Penghayatan ini dilakukan dalam ilmu tarikat (thariqat). Tarekat secara etimologis berarti ”cara”, dan secara istilah bermakna ”sistem untuk memproses orang menjadi semakin dekat kepada Allah SWT”. Adapun tata caranya antara lain harus berzikir kepada Allah SWT. Jadi, kalimat Laa Ilaaha illa Allah jangan digeletakno (dibiarkan) begitu saja. Setiap mengucapkan kalimat Laa Ilaaha illa Allah, harus diucapkan dengan hati yang terbuka. Hal ini dimaksudkan agar pengertian itu masuk ke dalam hati dan rasa. Sedangkan yang dimasukkan ke dalam hati adalah makna dari formulasi kalimat Laa Ilaaha illa Allah tersebut. Inilah letak perbedaan zikir model Islam dengan semedi.
Kalau zikir itu mengucapkan dengan kata-kata, lalu dimengerti, selanjutnya kata-kata dan pengertiannya dihayati. Sedangkan kalau semedinya orang kebatinan itu mengangen-ngen (mengangan-angankan) tuhan dan fenomena, tanpa ada formulasi, sehingga tidak fokus dan rawan gangguan, baik gangguan psikologi maupun makhluk halus. Dalam semedi, yang diangen-angen (diangan-angan) itu tidak jelas. Mungkin yang keluar ketika semedi bisa berupa perasaan hatinya yang paling dalam (deep psikologi), mungkin juga diganggu oleh setan atau jin berupa halusinasi, dan mungkin juga ngawang (berfantasi), sehingga tidak punya fokus terhadap apa yang disemedikan. Dengan demikian, semedi itu tidak aman, baik prosesnya maupun hasilnya.
Lain halnya dengan zikir menghayati kalimat Laa Ilaaha illa Allah yang sudah jelas. Artinya, yang tergolong makhluk halus terpotong atau tidak masuk hitungan; dan hatinya (psikologinya) juga tidak dipertuhankan, sehingga zikir yang seperti ini lebih aman.
Mulai sekarang, kita harus belajar berzikir. Zikir itu modalnya pengertian terhadap apa yang diucapkan dan konsentrasi. Konsentrasi di sini merupakan penggabungan semua potensi yang dimiliki seseorang, baik potensi hati, nafsu, ruh, maupun akal. Semua diheningkan dan disatukan untuk memfokuskan diri pada satu titik yang diucapkan.
Membaca kalimat Laa Ilaaha illa Allah dengan tenang akan lebih efektif daripada membacanya dengan banter (keras) dan banyak gerak. Karena yang diperlukan di sini bukan agitasi (semangat meluap), melainkan kontemplasi (tarassukh; peresapan; penghayatan). Ketika zikir sudah masuk, maka akan membuahkan gerakan hati yang lebih stabil dan tertib. Di dalam al-Qur’an disebutkan, (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Q.S. al-Ra’d [13]: 28).
Kapan hati menjadi stabil? Yaitu ketika hati sudah tersentuh oleh zikir. Kalau zikir masih berhenti pada lisan, itu masih bagus daripada tidak zikir; namun masih belum bisa menghasilkan ketenangan. Nah, dari ucapan lisan menuju ketenangan hati itu harus diproses dengan menghayati pengertian kalimat Laa Ilaaha illa Allah. Jadi, tauhid kita bisa ditingkatkan melalui tarassukh (penghayatan atau kontemplasi).
Akan tetapi, kemampuan kontemplasi kita ini masih rawan pengaruh, karena Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Iman itu bisa bertambah dan berkurang”.
Posisi iman terletak di dalam hati. Oleh karena itu, lingkungan hati harus diberi kondisi yang diridhai oleh Allah SWT. Misalnya, dengan cara memperbanyak membaca al-Qur’an dan shalawat kepada Nabi SAW; mengonsumsi makanan halal dan menata tingkah laku. Ini sudah menjadi latar belakangnya. Jadi, dengan membaca al-Qur’an, shalawat dan ibadah, tauhid kita akan semakin terjaga.
Aneka Gangguan Tauhid
Sekarang ini, tauhid kita dibahayakan (terancam) hampir dari segala jurusan.
Pertama, Menjauhkan Manusia dari Iman kepada Kekuasaan Allah SWT
Jurusan pertama adalah jurusan yang menjauhkan atau membikin manusia tidak lagi percaya pada kekuasaan Allah SWT. Misalnya, karena orang-orang dalam keadaan miskin, mereka mulai menuhankan uang. Sehingga bunyi teks Pancasila berubah menjadi: ”Keuangan Yang Maha Kuasa”, karena semua hal ujung-ujungnya adalah uang. Bahkan idealisme sekalipun merupakan bagian dari uang, padahal seharusnya uang adalah bagian dari penegakan idealisme.
Semua ini mengakibatkan kekufuran. Misalnya: Orang mempunyai sifat materialistik, berarti dia percaya kepada tuhan secara simbolik, akan tetapi tidak secara faktual. Materialisme inilah yang menjadi bencana terbesar abad ini terhadap tauhid kepada Allah SWT, karena manusia hanya mencari materi. Materialisme ini membuat orang hanya percaya kepada materi dan tidak percaya kepada immateri, sedangkan perbuatan seperti ini sudah termasuk kafir.
Kedua, Perlawanan terhadap Patokan Fundamental Agama
Jurusan kedua yang membahayakan tauhid adalah gejala perlawanan terhadap patokan fundamental dari agama. Minggu lalu saya pergi ke NTB, di sana ada doktor perempuan yang mengatakan al-Qur’an tidak kondusif terhadap persamaan gender. Menurut saya, memang benar bahwa gender itu harus dibela. Akan tetapi, kalau sudah melawan al-Qur’an dan menganggapnya sebagai Kitab Suci yang tidak pas untuk mengatur gender, maka sikap yang demikian itu adalah kufur, karena ada penentangan terhadap al-Qur’an. Perbuatan ini kelihatan sepele, tapi sudah termasuk kafir menurut ASWAJA. Doktor perempuan itu secara sadar telah mengatakan al-Qur’an sudah tidak cocok. Berjuang membela hak perempuan memang bagus. Akan tetapi, kalau dia sudah sampai berani mencaci al-Qur’an, maka dia sudah masuk pada daerah kufur, karena salah satu rukun iman adalah Iman kepada Kitab Suci.
Contoh lain adalah masalah Poligami. Orang diperbolehkan untuk tidak suka pada poligami, kalau dia memang jujur. Kalau laki-laki tidak suka poligami, biasanya dia tidak jujur, karena laki-laki itu biasanya mempunyai sifat penggeragasan (rakus); gemar menjadi ”panitia” bagian akomodasi, tampung sana tampung sini, alasannya untuk kemanusiaan (humanitas). Orang tidak suka poligami itu boleh, begitu juga jika dia tidak suka dipoligami. Akan tetapi, tidak boleh melawan al-Qur’an yang membolehkan poligami.
Kalau diibaratkan, al-Qur’an itu seperti rumah. Saya boleh tidak memilih kamar yang pertama, namun memilih kamar nomor dua. Begitu juga dengan al-Qur’an yang memberikan pilihan antara poligami dan monogami. Mengapa laki-laki tidak poligami?, bisa jadi dia nggak laku lagi, nafsu besar tenaga kurang, atau ”extra joss”-nya tidak meyakinkan. Namun, monogami maupun poligami itu sama-sama mempunyai syarat.
Jangan percaya kalau ada laki-laki kampanye anti-poligami. Anti-poligami berarti pro perselingkuhan. Kalau seseorang tidak berani poligami, dia tidak perlu mengatakan anti poligami. Saya sendiri memilih monogami, karena mau poligami tidak berani; bukan tidak mau, karena ilmunya belum dikuasai. Sehingga istri saya mesti wira-wiri (harus hilir-mudik). Padahal rumah saya di Jakarta dan Malang ini seharusnya diisi satu-satu.
Sekarang ada gerakan anti poligami yang berarti sama dengan anti al-Qur’an. Yang demikian ini tidak terasa dan terselubung, namun sebenarnya merupakan ancaman terhadap tauhid kita, karena sebagian dari rukun iman adalah percaya pada al-Qur’an.
Contoh lain, mengkritik Rasulullah SAW. Kalau seseorang tidak mau menerima Hadis yang dinilai lemah, itu tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau seseorang sudah mengkritik in person (pribadi Rsulullah SAW), maka kalimat syahadatnya menjadi batal. Para mahasiswa juga diskusi seenaknya saja dengan mengkritik Nabi Muhammad SAW. Yang begini ini termasuk gangguan terselubung yang ujung-ujungnya merusak tauhid.
Ketiga, Takhayul dan Khurafat
Yang paling banyak terjadi adalah takhayul dan khurafat. Karena sudah tidak lagi mempunyai kemampuan secara rasional, maka manusia bertindak yang aneh-aneh. Misalnya: Lumpur Lapindo dilempari kambing, ya tambah mbledos (meluap-luap), karena lumpurnya mangkel (marah).
Adapun hubungan antara tauhid dengan pertolongan sosial kemasyarakatan adalah: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (Q.S. al-Fatihah [1]: 5).
Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan kita supaya jangan sampai meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Minta tolong kepada manusia itu diperbolehkan, namun tidak boleh diyakini sebagai sumber pertolongan, melainkan sebagai perantara dari pertolongan Allah SWT. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak mempertuhankan makhluk, baik berupa manusia maupun barang atau benda. Misalnya: Keris itu ada yang mandi (punya kekuatan), biasanya ditempeli oleh jin atau yang lain. Keris itu cuma sarana, sedangkan prima causa (sebab utama)-nya harus kepada Allah SWT. Akik kalau digosok metu butone (keluar jinnya). Dulu orang menggunakan akik. Kalau dia meyakini akik sebagai sumber kekuatan, maka dia akan musyrik; namun kalau dia berkeyakinan bahwa Allah SWT telah memberikan kekuatan tertentu pada akik itu, maka dia tidak musyrik.
Setiap benda diberi kekhususan tersendiri. Misalnya: Kekuatan pohon pisang. Kalau ada orang yang kebal senjata, coba pedang yang akan digunakan untuk menusuk orang itu ditempelkan terlebih dulu pada pohon pisang, kemungkinan kekebalan orang itu akan jebol. Tanaman rawe yang biasanya hidup di semak-semak, bisa membuat kulit menjadi gatal-gatal jika kita menginjaknya. Namun, jika kita mematahkan batang pohon klampis, kemudian memasukkannya ke dalam saku, maka kita tidak akan gatal ketika menginjak tanaman rawe tersebut. Saya mengatakan semua ini sebagai khasiat, karena kalau kita meyakininya sebagai kekuatan independen (mandiri), maka bisa musyrik. Jadi, semuanya harus dikembalikan kepada kekuasaan Allah SWT.
Contoh lain adalah ular itu kalau dipukul dengan carang (bambu yang kecil), akan lumpuh, meskipun ular itu besar bahkan bisa memakan sapi. Cukup memukulnya dengan bambu kecil dan tidak usah keras-keras, asalkan tersentuh saja, ular itu akan lumpuh. Yang demikian ini disebut khasiat. Jadi, jangan mempercayai suatu benda mempunyai kekuatan independen yang lepas dari kekuasaan Allah SWT.
Sekarang bukan hanya soal khurafat, melainkan juga perdukunan. Perdukunan itu sangat dekat dengan kemusyrikan. Kalau perdukunan itu menggunakan kekuatan dukun itu sendiri, berarti dia bohong. Kalau perdukunan itu ada buktinya, biasanya ada prewangan (penghubung dengan dunia roh), kecuali yang bersifat ma'unah (pertolongan Allah SWT). Untuk membedakan antara perdukunan dengan ma'unah, dapat lihat pada orangnya. Apakah dia ahli ibadah atau tidak?. Karena orang yang ahli ibadah itu tidak bisa dimasuki oleh black magic (sihir hitam). Sedangkan orang yang tidak ahli ibadah, maka baik white magic (sihir putih) maupun black magic (sihir hitam), sama-sama bisa masuk pada diri orang tersebut. Oleh karena itu, meskipun kita sangat membutuhkan uang, jangan sampai pergi ke dukun, tapi pergi saja ke kiai. Tapi dilihat dulu, apakah si kiai itu ”mempunyai” partai atau tidak. Karena kalau kiai itu mempunyai partai, biasanya dia akan setengah kampanye.
Dengan menjalankan ibadah dan membaca al-Qur'an, kita akan dilindungi dari kekufuran. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Isra’ [17]: 45, Dan apabila kamu membaca al-Quran, niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup (Q.S. al-Isra’ [17]: 45).
Posisi orang yang membaca al-Qur’an itu dilindungi dari pengaruh angin kekufuran. Saya berkali-kali menganjurkan agar kita jangan jauh-jauh dari al-Qur’an. Insya Allah, kita akan selamat, karena ketika kita membaca al-Qur’an, maka akan ada junnah atau benteng yang membentengi kita dari kekufuran.
Di samping melakukan zikir untuk ketenangan hati, harus disertai kewaspadaan terhadap semua gangguan dan fenomena yang merusak tauhid. Hari ini, bencana masih berlanjut, longsor di kotanya SBY, yaitu Pacitan dan Bondowoso. Saat ini, orang sudah banyak melakukan istighatsah, akan tetapi nggak mandi (tidak terkabul), karena apa yang dia minta, tidak selaras dengan apa yang dia lakukan. Misalnya: Meminta tidak banjir sambil membabat hutan, akhirnya doanya tidak mustajab (terkabul).
Saya pergi ke rumah seorang kiai. Saya memohon kepada beliau: ”Kiai, tolong Indonesia ini didoakan, karena yang jatuh korban adalah orang-orang kecil; dan di antara mereka banyak orang NU atau orang Islam”.
Saya sungguh-sungguh minta kepada beliau, namun jawaban beliau terasa aneh: ”Saya ini mau saja mendoakan. Akan tetapi, ada kekhawatiran dalam diri saya, kalau bencana ini dikurangi, apa orang-orang tidak malah sombong kepada Allah SWT?. Karena bencana yang dahsyat ini masih belum membuat mereka sadar, bahwa semua bencana ini adalah hukuman; apalagi seandainya bencana ini dikurangi. Ada waktunya saya mendoakan, sekalipun tidak sekarang”.
Akhirnya saya mikir-mikir, Indonesia ini memang aneh. Yang terus-terusan berdoa, doanya tidak mandi (mustajab), sedangkan yang doanya mandi (mustajab), belum mau mendoakan. Dengan demikian, keterlantaran suasana ini masih akan terjadi. Oleh karena itu, berhati-hatilah!. Di tengah goncangan tauhid dan alam, kita harus senantiasa bertaqarrub (mendekat) kepada Allah SWT, di manapun kita berada; karena sudah tidak ada yang bisa menjamin keamanan kita, selain Allah SWT semata.
Kemarin saya merasa ngeri, dari Jakarta ke Malang saya naik pesawat Sriwijaya. Ketika mau landing, terjadi hujan deras dan kabut yang sampai di tanah, sehingga membuat penglihatan pilot tidak begitu jelas, sehingga landing-nya membuat saya loro-kabeh (sakit semua). Begitu pesawat berhenti, ketika mau turun, pintunya tidak bisa dibuka, akhirnya dibuka dengan tang besar. Sekarang, semuanya terserah kepada Allah SWT. Saya sendiri tidak mungkin untuk tidak keliling Indonesia, karena itu sudah menjadi tugas saya. Saya juga tidak mungkin tidak berangkat dari Malang ke Jakarta. Akhirnya, kalau saya kebetulan naik pesawat Garuda, maka saya akan membaca Surat al-Fatihah. Kalau naik pesawat Sriwijaya, saya tambah dengan membaca Shalawat. Tapi kalau naik pesawat Adam Air, saya tambah lagi dengan Hizib Nashar. Apalagi sudah diumumkan oleh Menteri Perhubungan bahwa penerbangan di Indonesia ini tidak ada yang standar; karena yang senior bukan pilotnya, melainkan pesawatnya. Pesawatnya sudah syaikh (lanjut usia) semua. Terakhir, secara sadar atau tidak sadar, saat ini kita berada di dalam kepungan bencana tauhid, akhlak dan alam sekaligus. Semoga Allah SWT memberikan ma’unah kepada kita semua.
Posting Komentar untuk "Melindungi Tauhid dari Godaan"