Pendidikan Kewarganegaraan ala KH. Hasyim Muzadi
Pemupukan Nasionalisme Melalui Civic Education
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi
Salah satu bagian dari ilmu Tata Negara, ada yang dinamakan civic education (Pendidikan Kewarganegaraan). Civic education adalah suatu pelajaran dan pendidikan warga negara untuk mengenal dan membela negaranya. Di negara-negara maju, civic education sudah diperkenalkan kepada anak yang sudah mulai berpikir, yaitu sekitar kelas lima dan enam.
Di Indonesia, civic education ini amburadul. Buktinya, berkali-kali yang mencalonkan presiden, hanya orang-orang itu saja, yaitu orang-orang yang sudah kadaluarsa masanya. Hal ini dikarenakan di Indonesia tidak ditekankan civic education. Rata-rata pemimpin di negara maju, berusia 40-45 tahun, seperti John F. Kennedy sudah menjadi Presiden Amerika Serikat (USA) pada usia 42 tahun. Dulu, Presiden Soekarno memimpin saat usia 44 tahun, pada tahun 1945.
Di Amerika Serikat, civic education diajarkan pada anak SD kelas 5. Civic education tersebut berisi tentang sejarah Amerika; filsafat amerika; sistem pemerintahan Amerika; sistem ekonomi, pendidikan dan pertahanan Amerika; hingga bahaya-bahaya yang bisa mengancam Amerika. Dengan demikian, mahasiswa lulusan S1 di Amerika sudah siap memimpin negaranya. Berbeda dengan di Indonesia, mahasiswa lulusan S1 sudah siap melamar pekerjaan ke mana-mana.
Dulu, Indonesia pernah mengajarkan civic education, tetapi secara sporadis (kadang-kadang). Sebenarnya, makna sejarah itu filsafat; tetapi di Indonesia tidak diajarkan Filasafat Sejarah. Dulu, ada pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tetapi pelajaran ini hanya sebatas informasi, bukan edukasi. Akibatnya, rasa nasionalisme kurang terbentuk pada diri para pemuda saat ini.
Seharusnya setiap warga negara di suatu negara, harus mengerti betul tentang masalah negaranya. Kita kan tidak mengerti. Mengertinya hanya semua keadaan sedang sulit, tapi tidak mengerti sebab-sebabnya. Bangsa ini sedang bingung, termasuk para pemimpinnya, sehingga pemimpin harus memperkenalkan diri pada masyarakat bahwa dia adalah pemimpin. Termasuk menggunakan baliho-baliho dengan tulisan semisal, “Hidup adalah perbuatan”. Lalu, perbuatan apa?. Mungkin maksudnya, perbuatan membuat baliho itu sendiri. Ini kan naif. Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki pemimpin, karena tidak diproses untuk menjadi pemimpin. Sekarang ini, anak muda menjadi anak mall dan anak jalan-jalan; miskin tapi hedonis.
Dalam hal ini, kita harus meniru Amerika Serikat. Kita menyangka bahwa warga Amerika Serikat itu tidak nasionalis. Padahal, mereka justru ultra nasionalis. Misalnya, serdadu Amerika Serikat kok ketelisut (tercecer) di Irian Jaya (Papua), maka akan diurus sampai seluruh dunia. Inggris pun demikian. Negara-negara yang dijajah oleh Inggris, pelan-pelan mulai dilepaskan, tetapi dengan protektorat (perlindungan) atau commonwealth (persemakmuran bersama) antara negara penjajah (Inggris) dengan negara terjajah.
Kesimpulannya, tidak pernah ada bangsa yang bisa eksis, apalagi jaya, tanpa ada rasa nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu sikap kebangsaan dan pembelaan kepada bangsa. Jadi, warga negara harus memiliki rasa nasionalisme untuk menjadikan negara Indonesia ini maju. Rasa nasionalisme ini tidak dipahami secara formal, melainkan secara substansial. Jika hanya dipahami secara formal, ya hanya menjadi partai-partai politik.
Jadi, seharusnya civic education diterapkan di Indonesia yang dimulai dari Sejarah Indonesia. Misalnya, anak-anak SD kelas 5 harus tahu Sejarah Indonesia, mulai dari dijajah Belanda hingga pasca kemerdekaan. Namun, sejarah di sini bukan diartikan sebagai cerita dari masa ke masa, melainkan makna atau filsafat dari sejarah itu. Kemudian anak-anak tersebut harus tahu tentang sistem kenegaraan yang digunakan di Indonesia.
Sistem kenegaraan menyangkut posisi ideologi negara. Contoh, ideologi di negara yang penduduknya hanya memeluk satu agama (mono religion), sudah bisa ditebak bahwa ideologinya adalah agama tersebut. Akan tetapi, ketika suatu negara memiliki bermacam agama dan suku, seperti Indonesia, maka tidak mungkin ideologinya salah satu agama, kecuali ada kompromi.