Tradisi Halal bi Halal Perspektif Al-Qur'an
LIMA ALASAN QUR’ANI MELAKUKAN HALAL BI HALAL
Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com
Halal bi Halal merupakan tradisi khas umat muslim Indonesia pada momen lebaran, karena merupakan akulturasi budaya Indonesia dengan Islam. Di negara-negara Islam lainnya, semisal di Timur Tengah, setelah melaksanakan shalat Idul Fitri, tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang berjabatan tangan sebagai tanda keakraban semata. Dari penelusuran sejarah dikatakan bahwa orang yang pertama kali menggagas istilah “Halal bi Halal” adalah KH. Wahab Chasbullah.
Alkisah, setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia dilanda gejala perpecahan bangsa, tepatnya pada tahun 1948. Saat itu, para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu meja; sementara pemberontakan terjadi di mana-mana. Pada pertengahan bulan Ramadhan 1948, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan saran tentang solusi mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat muslim disunahkan bersilaturrahim. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, jawab Kiai Wahab. “Begini, para elit politik kan tidak mau bersatu; itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “Halal bi Halal”, jelas Kiai Wahab.
Uniknya, konteks situasi “asbabul wurud” di atas mirip sekali dengan konteks situasi saat ini ketika masyarakat Indonesia juga terpecah-belah akibat perbedaan pilihan politis, baik dalam konteks pilkada tahun 2018, maupun pemilu tahun 2019.
Jika mengacu pada kandungan al-Qur’an yang terkait interaksi sosial (muamalah), setidaknya ada lima alasan yang membuat Halal bi Halal penting dilaksanakan.
Perintah Ihsan
Pertama, Al-Qur’an memerintahkan ihsan kepada sesama manusia, terutama kepada kedua orangtua (Q.S. al-Nisa’ [4]: 36). Ihsan itu menuntut hak di bawah standar dan melakukan kewajiban di atas standar. Sayangnya, fenomena yang kerap terjadi justru sebaliknya, yaitu menuntut hak di atas standar dan melakukan kewajiban di bawah standar.
Misalnya, anak menuntut orangtua untuk membelikan baju baru plus uang saku saat menjelang lebaran; namun dia enggan menaati perintah orangtua untuk rajin shalat, mengaji, bersekolah atau membantu orangtua.
Demikian halnya seorang pegawai yang selalu menuntut gaji, namun malas bekerja. Seorang siswa yang menuntut gurunya agar kreatif dalam proses pembelajaran, namun dia aktif tidur di kelas. Ini kilasan contoh kesalahan berinteraksi sosial dalam konteks ihsan yang mengharuskan pelakunya untuk meminta maaf kepada pihak terkait.
Perintah Mu'asyarah bi al-Ma'ruf
Kedua, Al-Qur’an memerintahkan pergaulan yang baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) (Q.S. al-Nisa’ [4]: 19). Ma’ruf berarti sesuai dengan ajaran Islam sekaligus tradisi masyarakat.
Misalnya, setiap bulan ada kegiatan rutin warga, lalu kita tidak menghadirinya tanpa ada alasan syar’i (dibenarkan menurut syariat Islam). Demikian halnya saat ada undangan rapat di tempat kerja, lalu kita tidak menghadirinya tanpa ada alasan syar’i.
Semua itu merupakan kesalahan berinteraksi sosial dalam konteks mu’asyarah bi al-ma’ruf yang mengharuskan pelakunya untuk meminta maaf kepada warga sekitar atau rekan-rekan di tempat kerja, utamanya kepada tokoh masyarakat dan pimpinan di tempat kerja.
Perintah Berbagi Harta
Ketiga, Al-Qur’an memerintahkan pembagian sebagian harta kepada orang yang berhak, karena setiap harta itu memiliki fungsi sosial, yaitu terdapat hak orang lain di dalam harta tersebut (Q.S. al-Dzariyat [51]: 19).
Misalnya, saat kita pergi haji, umrah, ziarah wali, berwisata domestik maupun luar negeri; lalu membeli oleh-oleh yang hanya kita berikan kepada keluarga terdekat. Sedangkan sanak famili, tetangga, teman atau pembantu tidak diberi oleh-oleh, hanya diberi cerita. Akhirnya, terbersit rasa kecewa di hati mereka, karena hanya mendapatkan cerita, tapi tidak mendapatkan oleh-oleh.
Demikian halnya dengan pembagian zakat, daging kurban, THR, “angpao” hari raya, hingga harta warisan (Q.S. al-Nisa’ [4]: 8). Ini adalah contoh kesalahan berinteraksi sosial dalam konteks pembagian harta yang mengharuskan pelakunya untuk meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa kecewa bahkan sakit hati.
Perintah Kerjasama dalam Kebaikan
Keempat, Al-Qur’an memerintahkan kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan, serta melarang bekerjasama dalam dosa dan permusuhan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 2). Ironisnya, yang terjadi malah sebaliknya.
Misalnya, permusuhan antara kubu yang pro pemerintah dengan kubu yang oposisi pemerintah. Setiap kubu membentuk jaringan khusus, baik di dunia nyata maupun dunia maya, agar dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Tidak jarang, masing-masing kubu saling menebar informasi hoax (berita palsu; maudhu’) dan sumpah serapah dalam interaksi sosial. Padahal, informasi hoax dapat memakan korban pihak yang tidak bersalah (Q.S. al-Hujurat [49]: 6) dan sumpah serapah sebagai sebutan (gelar) tergolong perilaku fasik (Q.S. al-Hujurat [49]: 11). Kedua kubu sama-sama bersalah dan harus saling meminta maaf, agar tidak berkubang dalam dosa.
Perintah Saling Berwasiat dalam Kebenaran
Kelima, Al-Qur’an memerintahkan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran (tawashau bi al-haqqi wa tawashau bi al-shabri) (Q.S. al-‘Ashr [103]: 3). Artinya, umat muslim diperintahkan agar saling meluruskan dan memotivasi. Sayangnya, justru yang lebih banyak terjadi adalah sebaliknya. Yaitu membiarkan orang lain semakin terjerumus pada jurang kesesatan.
Misalnya, melihat siswa-siswi bolos sekolah dan bermain internet, dibiarkan begitu saja, bahkan ditutup-tutupi jejaknya. Melihat rekan kerja melakukan korupsi, dibiarkan begitu saja, tanpa pernah menasihati, apalagi melaporkannya.
Atau menggembosi semangat orang lain. Misalnya, seorang gadis yang sudah bertekad mau menikah dengan laki-laki yang baik; lalu digembosi agar tidak menikahi laki-laki tersebut, karena dia nilai negatif. Seorang pegawai baru saja mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu digembosi bahwa gajinya tidak memenuhi UMR. Sikap yang demikian itu juga tergolong kesalahan berinteraksi sosial dalam konteks saling berwasiat pada kebenaran dan kesabaran, sehingga pelakunya dituntut meminta maaf kepada “korbannya”.
Dengan demikian, Halal bi Halal merupakan suatu tradisi khas muslim Indonesia yang harus dilestarikan sepanjang masa, karena selaras dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang beraneka-ragam, sehingga rentan konflik; serta selaras dengan amanat al-Qur’an agar umat muslim menjalin persatuan dan tidak terpecah belah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103). Hanya saat umat muslim bersatu-padu layaknya butiran beras yang saling menempel ketika menjadi ketupat, umat muslim layak mendapatkan limpahan rahmat Allah SWT (Q.S. al-Hujurat [49]: 10). Wallahu A’lam bi al-Shawab.