Memelihara al-Qur'an Melalui Aktivitas Tafsir
MEMELIHARA AL-QUR’AN MELALUI AKTIVITAS TAFSIR
Contoh Tafsir Tematik Kontemporer (Foto: kemenag.go.id) |
Dr. Rosidin, M.Pd.I
Visi-misi ajaran Islam adalah menebar
rahmat ke semesta alam (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107). Problemnya, umat manusia di
dunia terdiri dari berbagai macam suku-bangsa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13), ras
dan bahasa (Q.S. al-Rum [30]: 22). Sedangkan al-Qur’an menyeru agar Islam
didakwahkan sesuai dengan “bahasa” suku-bangsa tersebut (Q.S. Ibrahim [14]: 4),
padahal al-Qur’an hanya turun dalam satu bahasa, yaitu bahasa Arab (Q.S.
al-Syu’ara’ [26]: 195). Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu bentuk komunikasi
universal yang dapat dipahami oleh seluruh umat manusia, lintas ruang dan
waktu. Bentuknya adalah “al-bayan” atau penjelasan isi kandungan
al-Qur’an (Q.S. al-Rahman [55]: 1-4).
Al-Qur’an merupakan kitab suci penuh
berkah (Q.S. al-An’am [6]: 92). Salah satu maknanya adalah al-Qur’an memiliki
kandungan makna yang sangat luas. Ibaratnya, al-Qur’an itu seperti lautan.
Apabila seseorang mendatangi laut tanpa membaca alat apapun, dia masih bisa
mendapatkan pasir atau kerang di pantai. Jika membawa perlengkapan pancing,
maka dia bisa menangkap ikan. Jika melengkapinya dengan peralatan selam, maka
dia bisa mengambil terumbu karang yang indah.
Pada akhirnya, semakin lengkap
alat yang dimiliki seseorang, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan
kekayaan laut yang beraneka-ragam, termasuk mutiara yang berharga. Figur
manusia yang dinilai memiliki “peralatan lengkap”, sehingga mampu memahami
kandungan al-Qur’an yang sangat kaya makna adalah al-Rasikhun fi al-‘Ilm,
sekalipun dia tidak mampu memahami seluruh kandungan al-Qur’an, terutama
terkait ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah
SWT (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 7).
Atas dasar itu, setiap umat muslim
perlu segera mengambil langkah pertama untuk berupaya memahami kandungan
al-Qur’an, melalui mekanisme tadabbur (Q.S. al-Nisa’ [4]: 82), yaitu
menggali makna tersirat (implisit; mafhum) di balik ayat-ayat al-Qur’an
yang tersurat (eksplisit; manthuq). Apalagi Surat al-Baqarah [2]: 185
sudah mengisyaratkan keaneka-ragaman kandungan al-Qur’an, yaitu al-huda
(“petunjuk umum”); al-bayyinat min al-huda (“petunjuk khusus”); dan al-furqan
(“petunjuk operasional”). Misalnya, Surat al-Isra’ [17]: 78 memberikan petunjuk
umum tentang waktu shalat; lalu al-Sunnah memberi petunjuk khusus tentang
rincian waktu shalat; kemudian para pakar menyusun jadwal shalat yang menjadi
petunjuk operasional pelaksanaan shalat.
Tadabbur merupakan aktivitas
pemahaman kandungan al-Qur’an yang dilakukan secara privat untuk konsumsi diri
sendiri. Ketika hasil tadabbur tersebut disampaikan di ruang publik,
maka berubah menjadi tafsir. Tafsir adalah hasil pemahaman
manusia terhadap kandungan al-Qur’an sesuai batas kemampuan. Oleh sebab itu,
tafsir al-Qur’an itu bertingkat-tingkat, sesuai dengan kompetensi mufasirnya.
Tentu
berbeda kualitas antara penafsiran yang dilakukan mahasiswa umum dengan
penafsiran guru besar atau ulama pakar tafsir. Bisa jadi, mahasiswa umum
menyajikan aspek “pasir dan kerang” dari tafsir al-Qur’an; sedangkan guru besar
atau ulama pakar tafsir menyajikan aspek “terumbu karang dan mutiara” dari
tafsir al-Qur’an.
Di sisi lain, tafsir al-Qur’an tidak
imun dari kritik, karena berpotensi salah. Entah karena penafsirannya yang
tidak tepat, atau konteks ruang dan waktunya yang tidak lagi relevan. Contoh
salah penafsiran adalah kasus viral tentang tafsir Surat al-Dhuha [93]: 7 yang
dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW pernah sesat, karena “mufasir”-nya terkecoh
dengan kata “dhall” yang umumnya bermakna “sesat”; padahal mayoritas
mufasir memahami bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengalami kebingungan atau
keresahan menyangkut kondisi umat beliau pada zaman jahiliyah.
Sedangkan contoh
penafsiran yang tidak lagi relevan dengan dinamika zaman adalah menafsiri Surat
al-Ghasyiyah [88]: 20 yang dijadikan sebagai argumentasi bahwa bumi itu datar,
tidak bulat. Padahal berbagai bukti argumentatif sudah menunjukkan bahwa bumi
itu bulat. Yang salah bukan al-Qur’an, melainkan tafsir al-Qur’annya yang tidak
lagi relevan. Penafsiran ini wajar, karena mufasir zaman dulu mengalami kendala
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan benda langit. Contoh lainnya adalah
menafsiri “tujuh langit” dengan “tujuh planet”, padahal fakta ilmiah
menunjukkan planet di tata surya saja sudah lebih dari tujuh; apalagi di
semesta raya.
Agar tidak mengalami dua problematika
tafsir al-Qur’an di atas, umat muslim perlu meng-update dan meng-upgrade
kompetensi ilmunya melalui proses tafaqquh fi al-din, sebagaimana amanat
al-Qur’an (Q.S. al-Taubah [2]: 122). Ayat ini menggunakan redaksi berbentuk fi’il
mudhari’ (li-yatafaqqahu) yang berdimensi masa sekarang dan masa
depan, sehingga berimplikasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat aktual (update)
dan proyektif (futuristik). Di sisi lain, akar kata fiqh bermakna
pemahaman mendalam yang hanya bisa diraih melalui proses pendidikan seumur
hidup (lifelong education), bukan pendidikan instan, apalagi sekedar
berbekal al-Qur’an terjemahan.
Setelah memiliki kompetensi yang
memadai, “calon mufasir” bisa menentukan corak tafsir al-Qur’an yang dijadikan
sebagai spesialisasinya. Saat ini, hampir mustahil menjadi mufasir ensiklopedis
yang mampu memahami al-Qur’an dari berbagai perspektif disiplin keilmuan. Oleh
sebab itu, “calon mufasir” perlu memilih corak tafsir al-Qur’an yang sesuai
dengan minat dan bakatnya (Q.S. al-Isra’ [17]: 84).
Tujuh Corak Tafsir al-Qur’an
Berdasarkan literatur Studi al-Qur’an
(‘Ulum al-Qur’an), setidaknya ada tujuh corak tafsir al-Qur’an yang
dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan.
- Pertama, Linguistik (Adabi-Lughawi). Fokus terhadap analisis bahasa dan sastra Arab, dari segi nahwu, sharaf dan balaghah (ma’ani, bayan, badi’).
- Kedua, Akidah (I’tiqadi). Fokus pada ulasan tentang diskursus kalam, seperti pandangan Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Salafi-Wahabi, dan sebagainya.
- Ketiga, Fikih (Ahkam). Fokus pada diskursus hukum Islam, mulai dari Ushul al-Fiqh, Qawa’id al-Fiqh dan al-Fiqh; terutama terkait pendapat empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) dan Syiah (Zaidi; Ja’fari).
- Keempat, Tasawuf (Shufi). Fokus pada diskursus tasawuf yang berhubungan erat dengan penjernihan hati agar semakin erat dengan Ilahi.
- Kelima, Filsafat (Falsafi). Fokus pada analisis filosofis terhadap ayat-ayat al-Qur’an, baik dipengaruhi filsafat klasik, modern maupun post-modern.
- Keenam, Sosial-Budaya (Ijtima’i). Fokus pada analisis tafsir yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas masyarakat, sehingga lebih banyak terkait kritik sosial dan alternatif solusi yang ditawarkan al-Qur’an.
- Ketujuh, Sains (‘Ilmi; ‘Ashri). Fokus pada analisis tafsir yang berhubungan dengan disiplin keilmuan saintek, seperti ayat-ayat yang menjadi bukti kemukjizatan ilmiah al-Qur’an.
Adapun sistematika tafsir al-Qur’an
yang paling aktual adalah tafsir tematik (al-maudhu’i) yang mengupas
ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan topik, tanpa perlu bersusah payah
menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an yang tentu amat melelahkan bagi penulisnya
dan amat menyulitkan bagi pembacanya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.