Tafsir Tarbawi Relasi Orangtua dan Anak
TAFSIR TARBAWI RELASI ORANGTUA DAN ANAK
Sumber Foto: kaltim.tribunnews.com
Dr. Rosidin, M.Pd.I
www.dialogilmu.com
Kata walad
disebutkan 102 kali dalam 80 ayat. Lebih dari 30 ayat, terkait hubungan anak
dengan orangtua. Berdasarkan hasil telaah terhadap 30 ayat tersebut, penulis
mendapati sejumlah simpulan yang terkait relasi orangtua dan anak berikut ini.
Pertama,
tidak berputus asa jika belum memiliki anak-keturunan. Terbukti, Sayyidah
Maryam yang dianugerahi bisa hamil, sekalipun tanpa pernah bersentuhan dengan
laki-laki (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 47). Demikian halnya Sayyidah Sarah
diberi anugerah bisa hamil, sekalipun sudah lansia atau menopause (Q.S. Hud
[11]: 72). Saat ini, bayi tabung menjadi salah satu alternatif solusi bagi ibu
yang terkendala untuk hamil secara normal.
1.
قَالَتْ
رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَٰلِكِ اللَّهُ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
﴿آلعمران: ٤٧﴾
2.
قَالَتْ
يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَٰذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ
عَجِيبٌ ﴿هود: ٧٢﴾
Kedua,
boleh mengambil anak angkat, asalkan dididik dengan sebaik-baiknya. Bisa jadi, pasangan
suami-istri tidak bisa memiliki keturunan karena suatu sebab tertentu. Dalam hal
ini, al-Qur’an menawarkan salah satu solusinya, yaitu mengambil anak angkat. Ada
dua rasul yang pernah menjadi anak angkat. Nabi Yusuf AS menjadi anak angkat Pejabat
Mesir dan Zalikha (Q.S. Yusuf [12]: 21); dan Nabi Musa AS menjadi anak angkat
Fir’aun dan Asiyah (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 18); al-Qashash [28]: 9). Beliau
berdua sama-sama diperlakukan dengan baik, sebelum akhirnya muncul problem
antara beliau berdua dengan pihak orangtua angkat. Demikian halnya, Rasulullah
SAW pernah memiliki anak angkat bernama Zaid ibn Haritsah RA (Q.S. al-Ahzab
[33]: 40) yang kemudian menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan “mantan”
budak.
3. وَقَالَ
الَّذِي اشْتَرَاهُ مِن مِّصْرَ لِامْرَأَتِهِ أَكْرِمِي مَثْوَاهُ عَسَىٰ أَن يَنفَعَنَا
أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ
مِن تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿يوسف: ٢١﴾
4. قَالَ
أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ ﴿الشعراء:
١٨﴾
5. وَقَالَتِ
امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰ أَن يَنفَعَنَا
أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ ﴿القصص: ٩﴾
Ketiga,
sejak awal sudah menyadari dan meyakini bahwa anak bisa menjadi fitnah atau
ujian keimanan (Q.S. al-Anfal [8]: 28; al-Taghabun [64]: 15), bahkan musuh bagi
orangtua (Q.S. al-Munafiqun [63]: 9); di samping bisa menjadi kebanggaan (Q.S. al-Kahfi
[18]: 46) dan penentram hati bagi orangtua (Q.S. al-Furqan [25]: 74).
6.
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
﴿الأنفال: ٢٨﴾
7.
إِنَّمَا
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿التغابن:
١٥﴾
8.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ ﴿التغابن: ١٤﴾
9.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن
ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿المنافقون:
٩﴾
Keempat, ketika
sudah memiliki anak, maka orangtua bertanggung-jawab mendidik anaknya (Q.S.
al-Tahrim [66]: 6). Dalam hal ini, ayah dan ibu sama-sama memiliki peran
penting. Misalnya, ayah berperan seperti “Kepala Sekolah” yang menentukan
visi-misi pendidikan anak, sedangkan ibu berperan sebagai “Guru Kelas” yang mendidik
anak secara langsung. Indikator peran penting ayah bagi anak adalah Allah SWT bersumpah
atas nama “ayah dan anaknya” (Q.S. al-Balad [90]: 3); sedangkan peran penting
ibu bagi anak, sudah tidak terbantahkan lagi, terutama sejak anak masih berada
dalam kandungan dan masa penyusuan (Q.S. al-Baqarah [2]: 233).
10. وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ ﴿البلد:
٣﴾
11. وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ
لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ
مِثْلُ ذَٰلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿البقرة: ٢٣٣﴾
Sebagai “Kitab Pendidikan”, al-Qur’an
memberikan sejumlah tips yang dapat dimaksimalkan orangtua dalam mendidik
anaknya.
Pertama,
menarik simpati dan empati anak, dengan cara menjelaskan jerih payah yang
dialami orangtua demi anaknya. Misalnya, ibu mengandung anak selama 9 bulan,
yang dilabeli al-Qur’an dengan istilah wahnan ‘ala wahnin atau derita di
atas derita (Q.S. Luqman [31]: 14); saat melahirkan juga sedemikian berat (Q.S.
al-Ahqaf [46]: 15), sampai-sampai membuat Sayyidah Maryam ingin
meninggal dunia daripada menderita sakitnya melahirkan anak (Q.S. Maryam [19]:
23).
12. وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ
لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ ﴿لقمان: ١٤﴾
13. وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ
إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ
ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ
وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ
إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿الأحقاف: ١٥﴾
Kedua,
bertanggung-jawab memenuhi kebutuhan anak, mulai kebutuhan sandang, pangan,
papan, pendidikan, kesehatan, bahkan menyiapkan harta warisan. Atas dasar itu,
orangtua yang menerlantarkan anak, sulit sekali mendidik anaknya. Bagaimana
tidak, jika memenuhi “kebutuhan fisik” saja sudah abai, apalagi memenuhi “kebutuhan
ruhani”. Al-Qur’an menekankan pentingnya tanggung-jawab orangtua terhadap
kebutuhan rezeki anak, sebagaimana diisyaratkan oleh banyaknya ayat yang
mengecam tindakan orangtua yang menerlantarkan atau mengaborsi anak, gara-gara
khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan rezeki anak (Q.S. al-An’am [6]: 137; al-An’am
[6]: 140; al-Isra’ [17]: 31). Lebih dari itu, orangtua dimotivasi agar
mencukupi kebutuhan hidup anak, serta wafat dengan meninggalkan harta warisan
bagi anak (Q.S. al-Nisa’ [4]: 7).
14. وَكَذَٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ ﴿الأنعام:
١٣٧﴾
15. قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلَادَهُمْ
سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ
قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ ﴿الأنعام: ١٤٠﴾
16. وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ
إِمْلَاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
﴿الإسراء: ٣١﴾
17. لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿النساء: ٧﴾
Ketiga,
menjelaskan keluhuran (fadhilah) anak yang berbakti kepada orangtua. Misalnya,
berbakti kepada orangtua merupakan amal ibadah yang luhur, yang disebutkan oleh
Allah SWT sesaat setelah perintah ibadah kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 83;
al-Nisa’ [4]: 36; al-An’am [6]: 151). Sedangkan Rasulullah SAW bersabda bahwa
amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah shalat tepat waktu, berbakti
kepada orangtua dan jihad di jalan Allah (H.R. Bukhari-Muslim).
18. وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ ﴿البقرة:
٨٣﴾
19. وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا
فَخُورًا ﴿النساء: ٣٦﴾
20. قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ
عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُم مِّنْ إِمْلَاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
﴿الأنعام: ١٥١﴾
Bahkan kewajiban berbakti kepada
orangtua itu tetap berlaku, sekalipun kepada orangtua yang berbeda agama (Q.S.
al-Baqarah [2]: 180; al-‘Ankabut [29]: 8).
21. كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿البقرة: ١٨٠﴾
22. وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿العنكبوت:
٨﴾
Keempat,
memberikan contoh tokoh teladan yang berbakti kepada orangtua. Misalnya, Nabi Yahya
AS (Q.S. Maryam [19]: 14) dan Nabi ‘Isa AS (Q.S. Maryam [19]: 32). Uniknya, dua
ayat tersebut sama-sama melarang sikap angkuh kepada orangtua, kendati anak memiliki
kelebihan dibanding orangtua, dalam hal tenaga (lebih kuat), ilmu (lebih
pandai), harta (lebih kaya), pangkat (lebih berwenang), dan sebagainya.
23. وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا
عَصِيًّا ﴿مريم: ١٤﴾
24. وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي
جَبَّارًا شَقِيًّا ﴿مريم: ٣٢﴾
Kelima,
memberikan pendidikan kepada anak secara langsung (dididik sendiri) maupun
tidak langsung (dididik guru), dengan menekankan pada tiga aspek penting, yaitu
sikap, ucapan dan perbuatan.
Terkait
sikap, anak dididik agar tidak pilih kasih antara ayah atau ibu. Keduanya diperlakukan
secara adil dan menyenangkan kedua belah pihak (Q.S. al-Nisa’ [4]: 135). Jika
boleh diilustrasikan, ayah ibarat “roda depan”, ibu ibarat “roda belakang”. Keduanya
sama-sama penting, agar anak dapat terus melanjutkan perjalanan.
25. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا
قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا فَلَا
تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿النساء: ١٣٥﴾
Terkait ucapan, anak dididik sejak
dini agar gemar mendoakan orangtua. Dalam hal ini, bisa meneladani doa yang
telah diamalkan oleh Nabi Ibrahim AS (Q.S. Ibrahim [14]: 41); Nabi Sulaiman AS
(Q.S. al-Naml [27]: 19) dan Nabi Nuh AS (Q.S. Nuh [71]: 28), di samping doa
yang sudah populer di kalangan umat muslim, yaitu: Rabbi(i)ghfirli dzunubi
wa li-walidayya wa(i)rhamhuma kama rabbayani shaghira (Tuhanku, mohon
ampuni dosaku dan kedua orangtuaku; dan sayangilah beliau berdua, sebagaimana
beliau berdua mendidikku waktu kecil).
26. رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ ﴿ابراهيم: ٤١﴾
27. فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ
وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
﴿النمل: ١٩﴾
28. رَّبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن
دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ
إِلَّا تَبَارًا ﴿نوح: ٢٨﴾
Selain doa, anak juga dididik agar
terbiasa bertutur kata kepada orangtua dengan sopan-santun (Q.S. al-Isra’ [17]:
23), baik dari segi volume (tidak melebihi volume suara orangtua) maupun dari
segi diksi atau pilihan kata (tidak menggunakan kata-kata yang dapat melukai hati
orangtua), sekalipun terkesan sepele layaknya “kotoran kuku” (arti asli kata uff
yang tertera dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 23 adalah kotoran kuku).
29. وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا
كَرِيمًا ﴿الإسراء: ٢٣﴾
Terkait perbuatan, anak dilatih agar
bersikap dermawan kepada orangtua (Q.S. al-Baqarah [2]: 215). Misalnya, setiap
kali anak memiliki rezeki, anak dilatih berbagi kepada orangtua. Dengan demikian,
saat kelak anak sudah memiliki penghasilan sendiri, anak tidak pernah lupa
berderma kepada orangtuanya, sekalipun dalam nominal yang kecil. Karena pemberian
anak tersebut, tidak dinilai oleh orangtua dari segi kuantitasnya (nominal
harta), melainkan dari segi kualitasnya (perhatian anak kepada orangtua).
30. يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا
أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿البقرة:
٢١٥﴾
Demikianlah gambaran relasi orangtua
dan anak berdasarkan hasil telaah terhadap sejumlah ayat al-Qur’an yang
relevan. Semoga menjadi bekal berharga dalam rangka memperingati Hari Ibu setiap
tanggal 22 Desember. Amin ya Rabbal ‘Alamin.