Cinta dalam Perspektif al-Qur'an
CINTA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN
MAKNA CINTA DALAM AL-QUR'AN
Salah satu istilah yang digunakan
al-Qur’an untuk menyebut cinta adalah “hubbun”. Menurut al-Ashfahani
dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hubbun atau mahabbah
adalah menghendaki sesuatu yang dinilai baik. Entah baik dari segi zatnya,
seperti cinta suami kepada istri; segi manfaatnya, seperti cinta kepada harta;
maupun segi keutamaannya, seperti cinta kepada ulama.
Lebih jauh, hakikat cinta
adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang untuk meraih apa yang
dicintainya dan selalu mengutamakan apa yang dicintainya. Misalnya, cinta yang
meluap-luap (syaghaf), membuat Zalikha berupaya keras memperdaya Nabi
Yusuf AS untuk berbuat asusila di ruangan pribadi yang tertutup rapat, padahal
dia sudah memiliki suami (Q.S. Yusuf [12]: 30).
Di sisi lain, kata hubbun
seakar dengan kata “habban” yang berarti “biji atau benih”. Dari sini
dapat dipetik hikmah bahwa cinta dalam pengertian hubbun adalah cinta
yang perlu dirawat dengan baik, agar dapat tumbuh dan berkembang, layaknya
benih yang berhasil tumbuh menjadi tanaman. Jika cinta tidak dirawat dengan
baik, maka akan sulit tumbuh dan berkembang, bahkan bisa jadi rusak dan mati
terabaikan.
Misalnya, cinta yang dirawat akan menumbuhkan sakinah, mawaddah
dan rahmah dalam rumah tangga (Q.S. al-Rum [30]: 21); sedangkan cinta
yang tidak dirawat akan menimbulkan sikap saling curiga, bahkan tuduhan zina
(perselingkuhan) antara suami dan istri (Q.S. al-Nur [24]: 6).
SUBYEK CINTA DALAM AL-QUR'AN
Dari segi pelakunya, ada dua jenis
cinta. Pertama, Cinta Allah SWT. Al-Qur’an seringkali menggunakan
redaksi “Allah menyukai” yang berarti “Allah SWT memberi pahala”. Misalnya,
Allah SWT menyukai orang yang berbuat ihsan (Q.S. al-Baqarah [2]: 195); orang
yang bertaubat dan bersuci (Q.S. al-Baqarah [2]: 222); orang yang bertakwa
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 76); orang yang sabar (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 146); orang
yang tawakkal (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159); orang yang adil (Q.S. al-Ma’idah [5]:
42).
Sebaliknya, Allah SWT tidak menyukai orang yang melampaui batas (Q.S.
al-Baqarah [2]: 190); orang yang kufur (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 32); orang yang
zhalim (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 57); orang yang angkuh dan sombong (Q.S. al-Nisa’
[4]: 36); orang yang sering berkhianat dan berdosa (Q.S. al-Nisa’ [4]: 107);
orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 64); orang yang berlebihan
(Q.S. al-A’raf [7]: 31).
Kedua, Cinta manusia. Misalnya,
manusia dianugerahi rasa cinta kepada lawan jenis, anak-cucu, harta benda,
kendaraan, flora-fauna, dan sebagainya (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 14). Bahkan
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa beliau mencintai wanita dan minyak wangi.
Namun ketentraman hati beliau adalah saat mendirikan shalat (H.R. al-Bukhari).
CINTA TERPUJI
Selanjutnya, cinta manusia terbagi
menjadi dua kategori, yaitu cinta terpuji dan cinta tercela. Cinta terpuji
adalah cinta yang dilandasi nilai-nilai keimanan; sedangkan cinta tercela
adalah cinta yang dilandasi kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (Q.S.
al-Hujurat [49]: 7). Jadi, standar cinta dalam Islam adalah nilai-nilai
keimanan. Jika cinta telah melanggar nilai-nilai keimanan, maka statusnya bukan
cinta terpuji, melainkan cinta tercela (Q.S. al-Taubah [9]: 23). Hal ini
selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Seseorang belum beriman dengan
sempurna, hingga aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya, dan
manusia seluruhnya” (H.R. al-Bukhari).
Contoh cinta terpuji adalah cinta
orang mukmin kepada Allah SWT yang melebihi cinta kepada selain-Nya (Q.S.
al-Baqarah [2]: 165). Sedangkan indikator cinta kepada Allah SWT adalah
mengikuti ajaran Rasulullah SAW (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31). Wujudnya adalah melaksanakan
apa yang dicintai Allah SWT, seperti berbuat ihsan (Q.S. al-Baqarah [2]: 195);
dan meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT, seperti sikap angkuh dan
sombong (Q.S. al-Nisa’ [4]: 36).
Buktinya, secinta-cinta orang mukmin kepada
harta benda, tidak sampai melalaikan dari kewajiban ibadah (Q.S. Shad [38]:
32); bahkan orang mukmin rela mewakafkan harta yang dicintai, demi melaksanakan
ajaran agama (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 92). Inilah yang diteladankan oleh Abu
Thalhah RA, seorang shahabat Anshar yang kaya-raya. Beliau mewakafkan hartanya
yang paling dicintai, yaitu Sumur Ha’ yang saat ini berada di depan King Fahd
Gate (Pintu 22), setelah turun Q.S. Ali ‘Imran [3]: 92, “Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna (al-birr), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai”.
CINTA TERCELA
Contoh cinta tercela adalah cinta
kepada keluarga yang menjerumuskan seseorang pada profesi haram; cinta kepada
lawan jenis yang menjerumuskan pada perzinahan atau perselingkuhan; cinta
kepada harta benda dan profesi yang membuat lalai dari kewajiban agama; dan
sebagainya (Q.S. al-Taubah [9]: 24).
Termasuk cinta tercela adalah lebih
mengutamakan cinta dunia dibandingkan cinta akhirat. Misalnya, gemar menumpuk
harta benda, tanpa peduli kepada anak yatim dan fakir miskin (Q.S. al-Fajr
[89]: 17-20); begitu mencintai harta benda, tapi tidak bersyukur kepada Allah
SWT (Q.S. al-‘Adiyat [100]: 6-8). Orang yang mengutamakan cinta dunia
dibandingkan cinta akhirat ini, dinilai al-Qur’an sebagai orang yang berada dalam
kesesatan yang jauh sekali (Q.S. Ibrahim [14]: 3). Hal ini dikarenakan dia lebih
mencintai sikap acuh tak acuh dan durhaka terhadap petunjuk agama, alih-alih
bersikap taat dan mengikuti petunjuk agama (Q.S. Fushshilat [41]: 17).
Dari sini jelas, bahwa ekspresi cinta
sebagaimana yang umum terjadi pada momen Valentine yang diperingati setiap
tanggal 14 Februari, lebih didominasi cinta tercela, karena tidak dilandasi
oleh nilai-nilai keimanan, melainkan dilandasi oleh kekafiran, kefasikan dan
kemaksiatan.
Catatan terakhir, cinta tidak bisa
dijadikan standar baik-buruknya sesuatu. Karena cinta belum tentu mendatangkan
kebaikan, sebagaimana benci belum tentu mendatangkan keburukan. Bisa jadi, apa
yang dicintai seseorang, justru buruk baginya; sedangkan apa yang dibenci
seseorang, justru baik baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216). Ibarat sirup manis
yang disukai, bisa mengakibatkan penyakit; sedangkan jamu pahit yang dibenci,
justru bisa mengobati penyakit. Misalnya, mendekam di penjara dan selamat dari
godaan wanita, lebih disukai Nabi Yusuf AS daripada hidup bebas, tapi
terjerumus dalam godaan wanita (Q.S. Yusuf [12]: 33).
EKSPRESI CINTA YANG ADIL
Di sisi lain, Rasulullah SAW berpesan
agar cinta diekspresikan secara adil. Misalnya, Rasulullah SAW memerintahkan
seorang ayah agar bersikap adil kepada anak-anaknya, tanpa pilih kasih; agar
kelak semua anaknya berbakti kepadanya, bukan hanya sebagian anaknya saja yang
berbakti kepadanya (H.R. al-Bukhari). Hal ini dikarenakan ekspresi cinta
orangtua yang tidak adil, dapat menimbulkan kecemburuan sosial, sebagaimana
kecemburuan para saudara Nabi Yusuf AS yang menilai Nabi Ya’qub AS lebih
mencintai Nabi Yusuf AS dan Bunyamin dibandingkan mereka (Q.S. Yusuf [12]: 8). Apalagi
al-Qur’an berulang-ulang menyatakan dengan tegas, “Sesungguhnya Allah SWT
menyukai orang-orang yang berbuat adil” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 42;
al-Hujurat [49]: 9; al-Mumtahanah [60]: 8).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.