Tafsir Tarbawi Surat al-Muddatstsir
MENYEMAI KEPEDULIAN SOSIAL
Tafsir Tarbawi Q.S. al-Muddatstsir [74]: 1-5
Keluarga dan Karib-Kerabat sebagai Sasaran Utama Kepedulian Sosial |
Sumber Foto: dakwahquranhadist.wordpress.com
Salah satu prinsip hidup umat muslim
adalah mengikuti tuntunan Rasulullah SAW yang bersabda: “Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (Musnad al-Syihab).
Sayangnya, entah karena terpaan problematika kehidupan yang bertubi-tubi, atau
karena banyaknya motivasi yang mendorong untuk mengejar cita-cita yang tinggi,
akhirnya banyak umat muslim yang lebih mementingkan diri sendiri (egoisme) dan
tidak peduli lagi dengan kemaslahatan orang lain (altruisme). Lambat laun,
sikap egoisme menjadi zona nyaman layaknya selimut yang membuat seseorang malas
bergerak, apalagi di musim penghujan.
Jika Surat al-‘Alaq [95]: 1-5 merupakan “SK” pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang mencerminkan kesalihan pribadi (shalih); maka Surat al-Muddatstsir ini merupakan “SK” pengangkatan beliau sebagai Rasulullah SAW yang mencerminkan kesalihan sosial (mushlih). Implikasi peran beliau sebagai Rasulullah SAW adalah tugas dakwah yang diamanahkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2)
Hai orang yang berselimut; bangunlah, lalu berilah peringatan!.
Terma indzar (berilah peringatan) mengisyaratkan adanya sejumlah kemungkaran di tengah masyarakat yang perlu diwaspadai. Terma indzar ini identik dengan nahi munkar yang posisinya lebih diutamakan daripada amar ma’ruf, sebagaimana Kaidah Fikih:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menampik keburukan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan.
Contoh sederhana: Mengingatkan penumpang pesawat yang menggunakan smartphone, lebih diutamakan daripada memotivasinya untuk membaca buku saat pesawat hendak tinggal landas maupun mendarat.
Dalam bahasa Hadis, masyarakat itu bagaikan para penumpang kapal laut. Jika ada seorang penumpang melubangi kapal, maka penumpang lain harus mengingatkannya; karena dampak dari perbuatannya akan ditanggung oleh seluruh penumpang kapal, bukan oleh si pelaku saja. Selaras dengan informasi Ilahi dalam Q.S. al-Anfal [8]: 25
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ
خَاصَّةً
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu (Q.S. al-Anfal [8]: 25).
Adapun standar untuk menentukan munkar atau ma’ruf adalah syariat Ilahiah, sebagaimana yang diisyaratkan lanjutan ayat:
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3)
Dan Tuhanmu agungkanlah!
Misalnya, banyak orang yang kebablasan dalam mengekspresikan cinta, terutama pada momen valentine yang diperingati setiap tanggal 14 Februari. Atas nama cinta, banyak muda-mudi yang melanggar syariat Ilahiah, bahkan hingga taraf perzinahan.
Contoh lain, banyak simpatisan yang kebablasan mencintai capres-cawapresnya, sehingga berani untuk mempolitisasi agama, menyebarluaskan informasi hoax, hingga menistakan ulama kubu lain. Padahal Rasulullah SAW sudah memberi panduan:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya (H.R. al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa cinta kepada manusia, siapapun dia, jangan sampai menodai nilai-nilai agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, batas cinta adalah syariat Islam. Jika melanggar syariat Islam, berarti tergolong cinta yang kebablasan dan menjerumuskannya dalam kesesatan (Q.S. al-Jatsiyah [46]: 23).
Selanjutnya, sasaran indzar yang paling utama adalah keluarga dan karib kerabat. Inilah salah satu tafsir dari lanjutan ayat,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4)
Dan pakaianmu sucikanlah!
Al-Qur’an mengilustrasikan relasi keluarga dengan istilah “pakaian” atau libas (Q.S. al-Baqarah [2]: 187). Atas dasar itu, ayat ini dipahami sebagai perintah berdakwah dan mendidik keluarga, karib kerabat hingga sahabat. Jika menengok perjalanan sejarah, maka orang yang pertama kali masuk Islam adalah Sayyidah Khadijah RA yang berstatus istri Rasulullah SAW; Sayyidina ‘Ali RA yang saat itu tinggal di rumah Rasulullah SAW; Sayyidina Abu Bakar RA yang merupakan sahabat Rasulullah SAW sejak kecil; dan Zaid ibn Haritsah RA yang merupakan anak angkat Rasulullah SAW.
Sebagaimana orang mencuci baju, tentu tidak hanya sekali dilakukan; melainkan berulang-ulang dilakukan, terutama saat baju terkena noda atau kotoran. Sedangkan noda atau kotoran yang harus diwaspadai dan dijauhi adalah dosa, sebagaimana lanjutan ayat:
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah!
Menurut Ibn ‘Asyur, kata fa-(u)hjur bermakna “tidak bercampur maupun mendekati sesuatu” yang dinilai dosa. Larangan ini wajar, karena sebersih-bersihnya baju yang sudah dicuci, berisiko besar cepat kotor ketika pemiliknya gemar mendekat atau bercampur dengan hal-hal kotor, seperti tempat berlumpur.
Dalam konteks masa kini, pesantren dan full day school merupakan alternatif terbaik untuk menjaga “kebersihan” anak-anak agar tidak terkena polusi akhlak. Pesantren atau full day school itu bagaikan “gua al-kahfi” yang melindungi civitas akademika dari hal-hal negatif yang dapat merusak akidah, syariah dan akhlak. Di sisi lain, pesantren atau full day school dapat menghadirkan lingkungan edukatif yang membina kualitas akidah, syariah dan akhlak civitas akademika.
Dus, Surat al-Muddatstsir [74]: 1-5 mengingatkan umat muslim agar melakukan transformasi sosial, dari gaya hidup egoistis menuju gaya hidup altruis. Salah satu bentuk manifestasinya, berperan serta dalam amar ma’ruf nahi munkar melalui aktivitas dakwah maupun tarbiyah, untuk mengawal kehidupan keluarga dan masyarakat agar sesuai tuntunan syariat Ilahiah; dengan cara mempersempit sarana-sarana kemaksiatan (sadd al-dzara’i) dan membuka sarana-sarana ketaatan (fath al-dzara’i).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.