Hikmah Wudhu Bagi Pengembangan Diri
HIKMAH WUDHU BAGI PENGEMBANGAN DIRI
Dr. Rosidin, M.Pd.IDari Fikih Wudhu Menuju Akhlak Wudhu (foto: madaniah.co.id) |
Setiap insan ingin mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Salah satu caranya adalah melalui optimalisasi potensi diri yang dapat diarahkan pada anggota wudhu, sebagaimana urutan tata cara wudhu.
Pertama, niat di dalam hati
Al-Qur’an menyebut tiga kualitas hati:
- hati yang mati bagaikan batu (fa-qasat qulubuhum fa-hiya kal-hijarah), seperti hati kaum Yahudi (Q.S. al-Baqarah [2]: 74);
- hati yang sakit (fi qulubihim maradh), seperti hati kaum munafik (Q.S. al-Baqarah [2]: 10);
-
hati yang sehat (qalbun salim), seperti hati Nabi Ibrahim AS (Q.S. al-Shaffat [37]: 83-84).
Jika dikaitkan dengan doa setelah shalat Tarawih, maka hati yang sehat adalah hati yang diliputi keimanan dan bebas dari kekafiran; hati yang bersemangat menjalankan syariat, baik ibadah ritual seperti shalat, maupun ibadah sosial seperti zakat; serta hati yang dihiasi akhlak terpuji, seperti ridha kepada takdir Ilahi, sabar dalam menghadapi ujian dan bersyukur atas anugerah yang dinikmati.
Kedua, membasuh wajah
Al-Qur’an menyebut wajah dalam dua konteks:
- wajah yang menghadap kepada Allah SWT secara ikhlas dengan cara berpegang teguh pada ajaran Islam (Q.S. Luqman [31]: 22);
- wajah yang berpaling dari Allah SWT, bagaikan orang yang berjalan dengan menyeret wajahnya (Q.S. al-Mulk [67]: 22), sehingga tidak dapat mengetahui jalan yang lurus.
- apakah mata digunakan untuk melihat orang-orang yang taat ibadah pagi, siang, sore dan malam (Q.S. al-Kahfi [18]: 28) ataukah untuk melihat orang-orang yang hanya mencari kemewahan hidup dan melupakan ibadah (Q.S. Thaha [20]: 131)?;
- apakah hidung lebih senang pada lingkungan yang berbau surga, seperti masjid; ataukah lingkungan yang berbau neraka, seperti diskotek?;
- apakah mulut lebih banyak digunakan untuk mengucapkan kalimat thayyibah ataukah sumpah serapah?
Ketiga, membasuh tangan
Dalam al-Qur’an dan Hadis, tangan dikaitkan dengan konteks pemberian. Allah SWT yang Maha Dermawan, disimbolkan sebagai Dzat yang membuka lebar kedua tangan-Nya; sedangkan kaum Yahudi yang kikir, disebut sebagai kaum yang tangannya terbelenggu (Q.S. al-Ma’idah [5]: 64).
Madrasah Ramadhan telah mendidik kita agar menjadi pemberi (“tangan di atas”) bukan penerima (“tangan di bawah”); baik saat kondisi ekonomi kita serba lapang (al-sarra’) maupun serba sempit (al-dharra’) (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 134).
Rasulullah SAW bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ (رواه البخاري).
Hadis ini mengandung lima nilai edukatif:
- status pemberi lebih mulia daripada penerima;
- sasaran utama pemberian adalah keluarga terdekat yang wajib dinafkahi;
- pemberian terbaik adalah saat ekonomi serba lapang;
- motivasi kepada umat muslim meningkatkan kualitas ekonominya, sehingga lebih maksimal dalam memberi derma;
- orang yang menjaga diri dari meminta-minta, akan dijaga harga dirinya oleh Allah SWT dan akan dianugerahi kecukupan oleh Allah SWT.
Keempat, mengusap rambut kepala
Rambut adalah simbol kehormatan. Uniknya, Islam memiliki sejumlah ritual yang menyeru umat muslim agar memotong rambut, bahkan mencukur hingga gundul (botak); sebagaimana saat aqiqah maupun tahallul (Q.S. al-Fath [48]: 27).
Salah satu hikmahnya, umat muslim jangan bersikap sombong dan berkata angkuh terkait kehormatan yang disandang, entah berupa gelar akademik; status ekonomi; garis nasab; maupun jabatan publik. Sejalan dengan itu, Sunan Kalijaga membuat syair “gundul-gundul pacul” yang mengisyaratkan pentingnya sikap tawadhu’ (rendah hati), seolah tidak menyandang mahkota kehormatan, layaknya orang gundul yang tidak memiliki rambut sama sekali.
Di sisi lain, dalam kepala terdapat otak yang merupakan organ fisik bagi akal. Islam merupakan agama yang begitu mendambakan umat yang berperadaban tinggi (madani), bukan umat yang berkebudayaan terbelakang (jahili).
Inilah salah satu dari tujuan pokok ajaran Islam, yaitu meningkatkan kualitas akal manusia; dari akal yang serba gelap (zhulumat), sehingga tidak dapat mengetahui antara yang haq dan yang batil; menjadi akal yang dipenuhi cahaya (al-nur) ilmu dan kebijaksanaan, sehingga dapat mengetahui antara yang haq dan yang batil (Q.S. al-Baqarah [2]: 257).
Kelima, membasuh telinga
Al-Qur’an menyeru umat muslim agar memberdayakan telinga untuk mendengarkan dan melaksanakan ajaran agama (sami’na wa atha’na) sebagai ciri khas orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah [2]: 285); tidak seperti kaum Yahudi yang mendengarkan ajaran agama, namun mengabaikannya (sami’na wa ‘ashaina) (Q.S. al-Nisa’ [4]: 46).
Keenam, membasuh kaki
Mengingat perjalanan hidup manusia itu penuh lika-liku, terutama godaan setan dan hawa nafsu; maka al-Qur’an menyeru umat muslim agar bersabar dan memantapkan kaki di atas jalan kebenaran (Q.S. al-Baqarah [2]: 250).
Salah satu caranya adalah berpartisipasi dalam menegakkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Allah SWT berjanji bahwa siapapun yang menolong agama-Nya, niscaya Allah SWT menolong orangnya; dan memantapkan kakinya di jalan kebenaran (Q.S. Muhammad [47]: 7).
Ketujuh, tertib
Ulama menyusun fikih prioritas (fiqh al-aulawi) yang membantu umat muslim untuk menentukan skala prioritas dalam kehidupan. Secara garis besar, umat muslim harus mengutamakan yang wajib di atas yang sunnah; dan mengutamakan yang sunnah di atas yang mubah.
Misalnya, kesibukan kerja tidak boleh melalaikan seseorang dari kewajiban shalat lima waktu. Sebaliknya, kesibukan ibadah tidak boleh melalaikan seseorang dari bekerja mencari nafkah hidup.
Walhasil, peningkatan kualitas hidup dapat diarahkan pada optimalisasi potensi diri, melalui peningkatan fungsi spiritual anggota wudhu, mulai dari hati, wajah, mata, hidung, mulut, tangan, rambut kepala, otak, telinga dan kaki; dengan mempertimbangkan skala prioritas, mana yang wajib, sunah dan mubah.