Peran Manusia dalam Bencana Alam
Sistem Anti Banjir di Jepang |
Salah satu peran penting manusia yang semakin terkikis adalah sebagai khalifah yang bertanggung-jawab mengelola bumi (Q.S. al-Baqarah [2]: 31). Bumi dipandang istimewa dalam Islam, sebagaimana tercermin dari banyaknya kata ardhun (bumi) yang disebut al-Qur’an, yaitu 461 kali dalam 440 ayat.
Dari ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bumi memiliki banyak peran penting bagi kehidupan umat manusia, khususnya umat muslim.
Pertama, bumi merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT (Q.S. al-Dzariyat [51]: 20)
Misalnya, struktur tanah mempengaruhi rasa buah-buahan yang berbeda satu sama lain, ada yang manis, ada pula yang hambar, meskipun berada pada satu pohon yang sama dan disirami dengan air yang sama (Q.S. al-Ra’d [13]: 4). Dari sini dapat dipahami bahwa semakin banyak penelitian terhadap bumi, semakin banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijumpai, sebagai bukti tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Misalnya, geologi, geografi dan ilmu lingkungan.
Kedua, bumi merupakan sumber rezeki bagi manusia (Q.S. al-A’raf [7]: 10)
Misalnya, seperti yang dilansir merdeka.com, Riau merupakan penghasil minyak tersebar di Indonesia (365.827 barrel per hari); Papua merupakan daerah tambang emas terbesar di dunia (1.187 ton atau senilai USD 469.7 miliar); Pulau Bangka sebagai penghasil timah terbesar (100.000 ton) dan Kalimantan Timur sebagai penghasil gas alam terbesar di Indonesia (607,15 juta TCF). Pesan al-Qur’an, manusia harus memanfaatkan sumber daya alam di bumi secara halal dan baik (thayyib); jangan sampai mengikuti langkah-langkah setan (Q.S. al-Baqarah [2]: 168). Misalnya, mengeksploitasi alam tanpa memedulikan keseimbangan alam.
Ketiga, bumi berpotensi mengalami berbagai jenis bencana alam secara berkala
Salah satu hikmahnya adalah agar manusia tidak angkuh dan sombong (Q.S. al-Hadid [57]: 22-23). Terbukti, sehebat apapun manusia, tidak akan mampu menghalangi terjadinya bencana alam. Khusus di Indonesia, setidaknya terjadi 11 jenis bencana alam, sebagaimana dilansir liputan6.com: gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, tanah longsor, banjir, banjir bandang, kekeringan, kebakaran hutan, angin putting beliung, badai dan erosi pantai.
Sebagai khalifah, manusia dapat mengurangi dampak negatif bencana alam (mitigasi bencana), jika berperan sebagai pemakmur atau penjaga. Sebaliknya, dampak negatif bencana semakin besar, jika manusia berperan sebagai perusak.
Pertama, Manusia sebagai pemakmur
Ini ditunjukkan melalui berbagai bentuk pemakmuran bumi (‘imarah) yang dapat mengurangi dampak negatif bencana alam. Misalnya, membangun bendungan dan waduk sebagai pengendali banjir; menciptakan teknologi yang dapat mendeteksi gempa dan potensi tsunami. Dalam konteks ini, Nabi Nuh AS merupakan contoh manusia sebagai pemakmur yang berhasil membuat bahtera besar, sehingga dapat menyelamatkan manusia dan binatang dari bencana banjir besar pada zaman beliau (Q.S. Hud [11]: 37-44).
Dalam rangka meningkatkan peran sebagai pemakmur, manusia diseru agar melakukan aneka perjalanan di muka bumi (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 20). Misalnya, berkunjung ke negara-negara maju untuk mempelajari ide-ide maupun teknologi-teknologi yang berguna untuk menangani bencana alam. Jepang bisa dijadikan sebagai salah satu destinasinya, karena memiliki banyak ide mitigasi gempa dan tsunami. Antara lain: desain rumah tahan gempa; peringatan gempa di ponsel; ransel darurat yang cukup untuk bertahan hidup selama tiga hingga tujuh hari; pelatihan tanggap gempa sejak usia sekolah; hingga pembuatan terowongan penguras air banjir. Demikian informasi dalam laman kompas.com.
Kedua, Manusia sebagai penjaga
Ini dibuktikan melalui berbagai bentuk aksi pelestarian alam. Minimal, tidak merusak keseimbangan alam (Q.S. al-A’raf [7]: 56). Misalnya, pembalakan liar (illegal logging), penebangan berlebih (over cutting), hingga pencemaran lingkungan air, tanah dan udara. Sejalan dengan itu, apabila ada orang atau bangsa yang merusak keseimbangan alam, harus ditindak secara tegas, terutama melalui jalur hukum. Apalagi hal itu sudah mendapat legitimasi fatwa ulama, semisal Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994, yang menyatakan bahwa pencemaran lingkungan udara, air maupun tanah yang menimbulkan bahaya (dharar), hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Itulah kiranya, sudah tepat jika bangsa Indonesia bersikap tegas terhadap pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Kapal Ikan Asing (KIA), terutama dari China, di perairan Natuna Kepulauan Riau. Dalam perspektif Islam, jika manusia atau bangsa dibiarkan bertindak sewenang-wenang, karena merasa kuat dan adidaya, niscaya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi; seperti yang dilakukan Jalut (Goliath), sebelum ditaklukkan Nabi Dawud AS (David). Artinya, harus ada manusia atau bangsa lain yang berani menghentikan tindakan sewenang-wenang tersebut, agar tidak semakin merusak keseimbangan alam (Q.S. al-Baqarah [2]: 251).
Ketiga, Manusia sebagai perusak alam, yang dapat menimbulkan bencana, baik di daratan maupun di lautan (Q.S. al-Rum [30]: 41-42)
Misalnya, membangun pabrik, perumahan, gedung, jalan hingga wahana wisata, tanpa memperhatikan keseimbangan alam, mengakibatkan kurangnya peresapan air; sehingga dapat menimbulkan banjir saat musim hujan. Bahkan dapat mengubah iklim, dari semula daerah dingin atau sejuk, menjadi daerah panas. Lebih dari itu, banyak manusia yang justru menyalahgunakan kekuasaannya untuk merusak alam (Q.S. Muhammad [47]: 22). Misalnya, perusahaan semen yang mengeksploitasi alam di kawasan Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah; berupa penambangan liar dengan cara mengeruk material gunung, tanpa memedulikan dampak negatifnya bagi lingkungan alam maupun masyarakat sekitar.